Jumat 19 Feb 2016 03:29 WIB

Masyarakat Sipil Keluhkan Draf RUU Penyandang Disabilitas

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Julkifli Marbun
ilustrasi
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bersama dengan DPR sedang membahas draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyandang Disabilitas. Namun, kalangan masyarakat sipil pemerhati orang-orang cacat keberatan dengan isu draf beleid tersebut sejauh ini.

Menurut Ketua Kelompok Kerja (Pokja) RUU Penyandang Disabilitas, Ariani Soekanwo, kedua belah pihak perlu memperhatikan rujukan lahirnya rancangan UU tersebut.

Dia menuturkan, dalam draf RUU Penyandang Disabilitas, pada bagian “Mengingat”, keduanya perlu memasukkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas. Itu di samping sejumlah pasal dalam UUD 1945, yakni Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28H, ayat (2), Pasal 28I dan Pasal 28J.

“UU ini sebenarnya penjabaran dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011,” ucap Ariani Soekanwo saat dihubungi, Kamis (18/2).

Bila UU Nomor 19/2011 tak dicantumkan dalam bagian “Mengingat” pada draf RUU Penyandang Disabilitas, Ariani khawatir beleid ini nantinya justru tidak memihak kaum difabel. Dia menginginkan UU Penyandang Disabilitas koheren dengan Konvensi PBB tentang Penyandang Cacat, yang telah diratifikasi pemerintah RI pada 2011 lalu.

Konvensi tersebut, menurut Ariani, mengamanatkan pelaksanaan pemenuhan hak penyandang disabilitas bersifat lintas kementerian/lembaga.

“Jadi, ada pembagian tugas. Urusan transportasi, tugas siapa. Pendidikan siapa. Pengadilan juga. Semuanya harusnya dijabarkan dalam RUU ini,” kata dia.

Ariani mencatat, dalam UU Nomor 4/1997 tentang Penyandang Cacat, masih ada nuansa belas kasihan (charity) terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas. Maka, UU Penyandang Cacat sendiri melimpahkan tugas hanya kepada Kementerian Sosial (Kemensos), selaku leading sector. Menurut Ariani, pemahaman charity demikian diharapkan tak muncul lagi dalam UU Penyandang Disabilitas nantinya.

“Selama ini Kementerian Sosial tidak mampu menjadi koordinator pemenuhan-pemenuhan hak penyandang disabilitas. Leading sector tunggal dihapuskan saja. Biarkan setiap KL (kementerian/lembaga) melaksanakan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing yang sudah inklusif disabilitas,” kata dia.

Hal lainnya, Ariani melanjutkan, ialah terkait hak konsesi. Menurut dia, hak konsesi harus ada dalam draf RUU Penyandang Disabilitas, khususnya dalam Bab Ketentuan Umum. Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh pemerintah dan/atau setiap orang keapda penyandang disabilitas berdasarkan kebijakan pemerintah.

“Dikiranya kita menginginkan konsesi hutan atau apa. Padahal, itu kan hanya potongan biaya, misalnya 30 persen untuk kereta api, atau transportasi lain.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement