Kamis 18 Feb 2016 17:50 WIB

10 Penyebab Hukuman Koruptor Jadi Ringan

Rep: Wisnu Aji Prasetiyo/ Red: Esthi Maharani
Korupsi
Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Bidang Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho menilai hukuman terhadap koruptor di Indonesia terlalu ringan. Hal itu pun membuat para koruptor tidak merasakan efek jera.

"Pemantauan ICW, khusus untuk kasus korupsi pada tahun 2015, rata-rata hukuman cuma 2 tahun 2 bulan," kata Emerson dalam diskusi Gerakan Antikorupsi di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/2).

Emerson mengatakan ada 10 hal yang membuat koruptor di Indonesia tidak merasakan efek jera. Pertama, vonis bagi koruptor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terlalu ringan. Kedua, proses hukum hanya menjerat pelaku korupsi, bukan hanya keluarga atau kerabat yang terkait dalam kasus pencucian uang. Ketiga, hukuman hanya berupa pemenjaraan, tidak memiskinkan pelaku korupsi.

"Padahal rata-rata koruptor itu lebih takut disita harta dan kekayaannya ketimbang dipenjara dalam waktu lama," ujar Emerson.

Keempat, lanjut Emerson, dalam beberapa kasus, hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti. Namun, hukuman itu bisa diganti dengan subsider pemenjaraan.

"Pada akhirnya koruptor memilih dipenjara. Bayar uang pengganti adalah wajib, kalau tidak bayar, koruptor itu tidak boleh lolos dari penjara. Jangan berikan hak subsider dalam undang-undang," kata Emerson.

Kelima, pemerintah melalui petugas lapas dinilai masih memberikan kemewahan bagi para koruptor. Misalnya, lapas khusus yang menyediakan berbagai fasilitas bagi koruptor. Keenam, mantan terpidana koruptor masih bisa mengikuti pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah.

"Hal ini sebagai dampak tidak dicabutnya hak politik bagi terpidana kasus korupsi," ujarnya.

Ketujuh, walaupun ditetapkan sebagai terdakwa, seorang koruptor tidak dilakukan penahanan dan pencekalan. Kedelapan, para koruptor dalam status tersangka dan terdakwa masih dapat menjadi pejabat publik dan masih mendapat pensiun. Kesembilan, walaupun berstatus tersangka atau terdakwa, seorang koruptor masih bisa menduduki jabatan publik.

"Di Riau, kepala dinas Kehutanan adalah mantan terpidana kasus korupsi. Di Kepulauan Riau, gubernur sempat ingin mengangkat kepala dinas Kelautan yang dari terpidana," kata Emerson.

Kesepuluh, hukuman tidak membuat jera, misalnya, ada terdakwa kasus korupsi, yakni Nazaruddin dan Artalita Suryani, yang masih bisa menjalankan bisnis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement