REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi dari Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Marinus Yaung berpendapat Papua menjadi sangat penting bagi Amerika Serikat lantaran salah satu tambang emas terbesar miliknya, Freeport ada di Bumi Cenderawasih.
"Sehingga berbagai saran dan masukan terkait Freeport, sangat diperlukan oleh negara tersebut. Termasuk, daya tawar agar orang Papua menjadi presiden direktur Freeport, termasuk sahamnya," kata Marinus Yaung di Kota Jayapura, Papua, Senin (16/2).
Menurut dia, kedatangan Duta Besar Amerika Serikat pada akhir Januari lalu merupakan posisi tawar yang coba dimainkan Negeri Paman Sam, bagaimana suara dari pemilik terkait keberlangsungan Freeport di Indonesia.
"Kita tahu bahwa orang Papua punya daya tawar, ini yang coba dimainkan oleh Duta Besar Amerika Serikat Roberth Blake, yang langsung datang ke Papua. Meski Jakarta tahu bahwa diplomasi yang dimainkan itu telah melanggar etika, itu karena Freeport," katanya.
Untuk itu, kata dia, ada baiknya Presiden Joko Widodo memberikan kesempatan bagi orang Papua untuk ikut terlibat di dalamnya dalam mengurus tentang Freeport.
"Saya menyarankan kepada Presiden Jokowi kalau memang tidak menyerahkan sepenuhnya kepengurusan tentang Freeport kepada Papua, tolong meninjau kembali SK Menteri ESDM terkait tim divestasi tentang Freeport itu," kata dia.
Pemerintah Indonesia kalah telak terhadap PT Freeport dalam hal pelarangan ekspor konsentrat dan pembangunan smelter atas perintah UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. Izin ekspor konsentrat tanpa ada uang jaminan pembangunan smelter sebesar 530 juta dolar AS, ditambah bea keluar sebesar lima persen kemungkinan juga tidak akan dipenuhi Freeport.
Freeport, menurut manajer advokasi FITRA, Apung Widadi, terus meminta keringanan. Situasi itu menunjukkan kekalahan telak Indonesia terhadap Freeport.
“Indonesia kalah pada Freeport, posisi tawar Indonesia lemah,” kata Apung Widadi di Jakarta, Rabu (17/2).
Apung juga mengaku kecewa dengan kinerja pemerintah. “Artinya apa, ketika kemarin pemerintah mendorong kasus 'papa minta saham', sekarang dengan kenyataan ini, antiklimaks dan tidak menyentuh akar subtansi. Hanya pencitraan saja. Dalam subtansi kepentingan tetap kalah,” kata Apung.