REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Sejumlah seniman asal Kabupaten Purwakarta, Jabar, meradang. Musababnya, dalam akun Twitter kelompok Manhajus Solihin, yakni @Manhajusholihin, menyebutkan kesenian Genye sebagai budaya iblis dan setan.
Akibat kritikan itu, para pelaku seni Purwakarta melaporkan pimpinan Manhajus Sholihin, Syahid Joban ke Mapolres Purwakarta.
Seniman Purwakarta, Deden Guntari mengatakan, pihaknya tak terima hasil cipta, rasa, dan karsa itu disebut sebagai budaya iblis dan setan. Apalagi, para pencetus kesenian ini semuanya beragama Islam. Tudingan budaya iblis itu, kata dia, tidak berdasar.
"Kami tak terima dengan tuduhan yang dicetuskan melalui akun Twitter itu," kata Deden kepada Republika.co.id, Senin (15/2).
Hari ini juga, lanjut Deden, mereka melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Sebab, tuduhan kelompok tersebut telah menyinggung perasaan para seniman.
Menurut Deden, kesenian Genye ini dengan susah payah dibuat para seniman. Bahkan, Genye ini memiliki nilai filosofis tersendiri. Secara harfiah, Genye berarti gerakan nyere (sapu lidi). Kenapa sapu lidi yang diangkat? Sebab, para seniman ini ingin sapu lidi memiliki posisi tawar tinggi serta tidak dipandang sebelah mata.
Karena, sapu lidi identik dengan alat untuk bersih-bersih. Harganya murah dan cenderung dekat dengan yang kotor-kotor. Tetapi, dengan diangkat menjadi produk seni dan budaya, maka sapu lidi ini memiliki nilai jual yang tinggi. Serta, banyak disukai masyarakat.
"Kesenian Genye kami, sudah meraih beberapa prestasi. Seperti juara di event Kemilau Nusantara dan Parade Taaruf MTQ tingkat Jabar," kata Deden.
Dia menilai tuduhan dari kelompok Manhajus Sholihin itu sangat tak beralasan dan tak manusiawi. Karena itu, seniman membawa kasus itu ke ranah hukum. Hal itu, sebagai langkah untuk membuat efek jera bagi mereka yang suka menuduh tanpa didasari bukti yang kuat.