REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan calon legislatif (caleg) berdasarkan sistem proporsional terbuka banyak dikeluhkan partai politik. Namun sejauh ini, sistem berdasarkan suara terbanyak itulah yang paling memungkinkan rakyat memilih langsung wakilnya.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, hal yang paling krusial untuk membangun satu sistem dalam kontestasi, adalah tidak saling menjatuhkan. Dalam dua kali pelaksanaan sistem proporsional terbuka di Indonesia, ada tiga hal yang banyak dikeluhkan.
Pertama, kontestasi tidak terukur antarsatu calon bahkan dalam satu partai. Kedua, popularitas menjadi variabel utama yang menentukan keterpilihan seseorang meskipun tidak memiliki kemampuan. Ketiga, rentan politik uang. Pengaturan terhadap tiga hal ini perlu ditajamkan kembali.
Tak ditampik, dalam sistem proporsional terbuka memang ada kanibalisme kandidat, bahkan, di lingkup partai itu sendiri. Menurut Ismail, hal tersebut harusnya dapat diatasi partai.
“Kita tidak bisa menutup mata. Kontestasi partai antarkandidat betu-betul terjadi,” ujar Ismail kepada Republika.co.id, Rabu (10/2).
Namun justru di sanalah masyarakat dapat memilih mana caleg terbaik. Sayangnya dalam sistem proporsional terbuka, popularitaslah yang menjadi variabel utama dalam pemilihan seseorang.
Ia berkata, bukan berarti Indonesia harus kembali ke sistem proporsional tertutup. Pasalnya sistem tersebut justru akan membuat partai kembali memiliki kuasa absolut.
“Bahkan melampaui kedaulatan rakyat itu sendiri,” kata Ismail.
Sistem proporsional terbuka lebih menguntungkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Namun tantangannya adalah bagaimana meningkatkan pendidikan politik masyarakat agar mengetahui popularitas bukan segalanya. Bahaya politik uang juga dapat menjadi materi pendidikan politik publik.