Rabu 10 Feb 2016 18:09 WIB

Kisah Handoko dan Imlek yang Sederhana

Rep: C35/ Red: Achmad Syalaby
Petugas kebersihan membersihkan tanaman liar bantaran kali yang terdapat di kali Lio di Jalan Gunung Sahari Raya, Jakarta Pusat, Kamis (12/3).  (foto : MgROL_34)
Petugas kebersihan membersihkan tanaman liar bantaran kali yang terdapat di kali Lio di Jalan Gunung Sahari Raya, Jakarta Pusat, Kamis (12/3). (foto : MgROL_34)

REPUBLIKA.CO.ID, Perayaan Imlek tidak selalu dirayakan dengan penuh kemewahan dan angpao yang melimpah. Mengingat kondisi ekonomi masing-masing warga keturunan Tionghoa tidak semua berkecukupan. 

Seperti Handoko (66 tahun) yang merayakan tahun monyet api dengan sederhana. Di rumahnya tidak dihiasi dengan pernak pernik Imlek seperti etnis Tionghoa pada umumnya yang merayakan tahun baru penyambutan musim bercocok tanam itu. Alih-alih pernak-pernik serba merah, di rumahnya tidak ada kue keranjang, berbagai jenis buah-buahan, maupun tumpukan amplop angpao yang biasanya dibagikan ke cucu dan karib kerabat.

Kondisi itu tidak lantas membuat Handoko yang bekerja honorer di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) sebagai tukang sapu ini putus asa. Dia tetap bersyukur dengan apa yang dimilikinya hingga saat ini. Dia bahkan tidak merasa dengki atau iri hati kepada saudaranya yang sama-sama keturunan Tionghoa yang bisa hidup bermewah-mewahan. 

"Gaji saya sekarang sudah lumayan, 100 ribu per hari. Dicukup-cukupkan lah untuk kebutuhan sehari-hari. Yang penting saya nerima saja dengan apa yang saya punya, tidak perlu dengki dengan mereka yang bisa sukses," tuturnya kepada Republika.co.id saat sedang melaksanakan tugas di Tangerang, Rabu (10/2).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement