REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD asal Provinsi Sulawesi Tengah, Nurmawati Dewi menyatakan, DPD merupakan anak kandung reformasi, yang tidak kalah penting perannya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kerap kali menjadi perbincangan. Walaupun pada kenyataannya, DPD hanya ditempatkan sebagai asesoris demokrasi.
Menurutnya, DPD berada pada posisi sebagai penyeimbang jika ada masalah bangsa yang sulit dicari solusinya. Sebab selama ini, suara daerah dianggap tidak cukup memuaskan masyarakat Indonesia, seperti di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Kalaupun ada hal-hal yang belum maksimal, lanjut Dewi, itu lebih karena fungsi dan kewenangan DPD yang terbatas, sehingga kinerjanya pun terbatas. ''Kalau tidak ada DPD RI, Aceh sudah lepas, Papua sudah lama pergi. Bahkan, NTT hampir lepas. Jadi tolong jangan melupakan sejarah, nanti kualat,'' kata Dewi, dalam dialog kenegaraan DPD bertema 'Penguatan Fungsi Lembaga Perwakilan', di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/2).
Dewi meminta masyarakat jangan hanya menyorot hal-hal negatif saja. Karena tidak semua yang dilakukan DPD tidak berguna. ''Marilah jangan melihat DPD sepotong-potong,'' katanya.
Guru besar fakultas hukum UKI, Mukhtar Pakpahan menjelaskan, DPD lahir karena desakan kebutuhan rakyat. Ada dua lembaga perwakilan di Indonesia, yaitu DPD serta DPR.
DPR merupakan representasi rakyat yang berasal dari partai politik. Sementara DPD merupakan wakil rakyat dari daerah. Sehingga, Dewi menyatakan lembaga yang memang betul-betul bertindak sebagai wakil rakyat adalah DPD.
Mukhtar menjelaskan, dampak paling negatif dari DPD seperti korupsi, penyimpanan penegakan hukum, hanya bersifat perorangan. Sementara, anggota DPR yang berasal dari partai politik, bukan hanya berpotensi melakukan penyimpangan secara pribadi karena ada kepentingan kelompok dan kepentingan partai.
''Kalau sudah kepentingan partai, dia bisa mendominasi DPR. Kalau dilihat dari situ, dalam rangka aspirasi, DPD lebih dipercaya daripada DPR,'' katanya.