REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Regional aktivis kebebasan berekspresi dari Kelompok Kebebasan Berekspresi Dalam Jaringan Se-ASEAN (Safenet), Damar Julianto menyayangkan sikap anggota DPR yang terkesan egois ketika menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Undang-Undang ITE.
"Anggota DPR masih memikirkan dirinya pribadi ketika takut di-bully di dunia maya, dibandingkan dari dampak positif partisipasi masyarakat berdemokrasi dalam jaringan," kata Damar Julianto ketika berdiskusi tentang UU ITE di Jakarta Pusat, Rabu (10/2).
Ia mengatakan ada dua pandangan terhadap revisi undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tersebut, pertama tidak perlu adanya revisi dan kedua setuju atas resvisi pasal 27 ayat 3 terkait hukuman pelanggaran.
Bunyi Pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik'.
Ia menganggap anggota DPR takut akan hinaan masyarakat terhadap kinerjanya melalui dunia maya, sehingga menyamakan hukuman dengan KUHP.
"Kalau begini caranya, penjara bisa penuh, dan kebebasan berekspresi semakin dibatasi tanpa alasan logis," katanya.
Damar menjelaskan, seharusnya anggota DPR sudah sadar sejak adanya internet, selayaknya sebagai anggota legislatif, baiknya bekerja dengan benar dan sesuai aturan, bukan takut di-'bully' kemudian, berlindung di balik UU ITE.
Namun, ia tetap mengapresiasi langkah dari DPR untuk menyelenggarakan RDPU tersebut, dan menggelarnya secara terbuka karena itu hak seluruh masyarakat.
Senada dengan Damar, Direktur Eksekutif Yayasan SatuDunia, Firdaus Cahyadi, juga menyayangkan usulan penambahan hukuman dari pelanggaran pasal tersebut menjadi 15 tahun, karena pasal tersebut 'pasal karet' atau belum jelas pemaknaannya.
"Usulan hukuman itu, seperti mengembalikan masa kepada Orde Baru, di mana banyak dibungkam dalam menyampaikan pendapat," katanya.