REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara umum partai politik dinilai lebih menyukai sistem proporsional tertutup (berdasarkan nomor urut) dibandingkan sistem proporsional terbuka (berdasarkan suara terbanyak). Partai politik biasanya beralasan sistem proporsional tertutup dapat mencegah adanya praktik politik uang yang banyak terjadi di sistem proporsional terbuka.
Namun, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti melihat itu hanya alasan yang dibuat-buat. Politik uang tetap akan terjadi baik di sistem proporsional terbuka atau tertutup. “Praktik politik uang tetap ada, hanya objeknya berubah. Tidak lagi ke masyarakat, tapi ke pengurus partai,” ujarnya kepada Republika.co.id, baru-baru ini.
Dalam sistem proporsional tertutup, calon legislatif (caleg) tidak lagi "membayar" masyarakat, tapi pengurus partai. Itu sebabnya partai lebih menyukai sistem pemilihan berdasarkan nomor urut karena uangnya masuk ke partai.
Dalam dua kali periode pemilihan caleg, Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem ini, caleg berani menempati nomor urut 5, 7, atau nomor besar lainnya dan bisa menang. Dalam sistem ini, caleg tiak perlu membayar ke partai.
Usulan perubahan sistem dari proporsional terbuka menjadi tertutup mencuat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bukan tidak mungkin usulan ini merembet ke partai lain. “Kalau dibaca petanya, secara umum mereka lebih menyukai sistem proporsional tertutup,” kata Ray.