REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Kongres V Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) akan memutuskan meminta pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP tersebut dinilai tidak menjadi solusi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih marak terjadi.
Presiden FSPMI sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan, alasan pemerintah mengeluarkan PP No 78 tersebut setelah dikeluarkannya paket ekonomi jilid IV, agar tidak terjadi PHK. Namun, dalam beberapa bulan setelah PP tersebut dikeluarkan justru terjadi PHK.
Beberapa waktu lalu, KSPI sempat melakukan diskusi dengan pimpinan PT Thosiba. KSPI menanyakan terkait pengaruh upah terhadap investasi yang keluar dari Indonesia. Said menjelaskan, Pimpinan PT Thosiba menjawab daya beli masyarakat Indonesia yang turun menyebabkan produk televisi dan mesin cuci Thosiba kalah bersaing.
“Daya beli itu naik kalau upah naik, daya beli turun karena upah murah. Keluarnya PP No 78 ini, masyarakat Indonesia termasuk buruh daya belinya turun,” jelasnya dalam konferensi pers Munas dan Kongres V FSPMI, di Hotel Empire Palace Surabaya, Senin (8/2).
Dia mencontohkan, produksi sepeda motor dari 7 juta unit pada 2014 turun menjadi 6 juta unit pada 2015. Pembeli utama produk sepeda motor terutama dari buruh dan karyawan. Artinya, daya beli buruh dan karyawan turun.
Terkait upah murah, Said membandingkan upah buruh di Indonesia dengan beberapa negara Asean berdasarkan data dari buku yang diterbitkan Organsasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO). Buku tersebut menjelaskan, upah rata-rata pekerja Indonesia sebesar 170 dolar AS per bulan. Angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata upah buruh di Vietnam sebesar 187 dolar AS per bulan. Bahkan jauh di bawah Malaysia dan Thailand yang sebesar 390 dolar AS, dan Singapuran 3.000 dolar AS. “Upah paling murah di Indonesia,” ucapnya.