REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- "Koh. Angpao, Koh," pinta Bilal (11 tahun) diiringi ketiga teman sebayanya. Sepasang suami istri yang membawa seorang anak balita baru saja membuka pintu mobil, hendak turun. Busana mereka serba merah. Sambil tersenyum penuh arti, lelaki keturunan Tionghoa berusia 30-an tahun itu meraih sesuatu dari dalam mobil. Empat buah angpau terulur pada empat bocah yang menantinya.
Begitu sepasang suami istri itu masuk Klenteng Hok Lay Kiong, Bekasi Timur, Bilal dan ketiga temannya langsung berjingkrak-jingkrak. Mata mereka berbinar. Dengan antusias, keempatnya membuka angpau. Pecahan uang kertas senilai lima ribu rupiah menyembul keluar. "Dapat lima belas ribu," ucap Bilal sumringah, di hadapan Republika.co.id, Senin (8/2).
Bilal tak sendiri. Senin (8/2), Klenteng Hok Lay Kiong di Jalan Kenari No. 1 Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur tampak ramai. Tak hanya warga keturunan Tionghoa, masyarakat umum pun berjubel di depan pintu masuk klenteng. Meriah merah merona, laiknya gapura klentang. Seolah tak peduli pada matahari yang mulai bersinar terik, makin siang, kerumunan justru kian ramai. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.03 WIB.
Keringat berleleran di dahi bocah sebelas tahun itu. Bilal mengatakan, mereka sudah sejak pukul 07.00 WIB datang ke klenteng. Bocah kelas enam SD ini tinggal di Jalan Ir H Juanda, kira-kira sepuluh menit jalan kaki dari klenteng.
Hampir setiap tahun baru Imlek, Bilal mengatakan selalu datang ke lokasi. Ia datang bersama ketiga temannya, Imam (11), Akbar (12), dan Rois (11). Tak jenak duduk lama, keempat bocah itu kembali berlari menghambur ketika sebuah mobil berhenti di samping klenteng.
Tepat di depan pintu klenteng, tampak tiga bocah belasan tahun tengah menikmati makaroni goreng dalam sebungkus wadah plastik. Ketiganya menikmati jajanan seharga 2000-an itu sambil berjongkok, tanpa peduli keriuhan di sekitarnya. Mereka juga bagian dari para pemburu angpao.
Ali (12), Rifai (12), dan Firi (11) adalah warga sekitar klenteng. Mereka tinggal di daerah belakang Stasiun Bekasi, kira-kira lima belas menit jalan kaki dari klenteng. "Nyari angpau lah. Yang ngasih orang-orang Cina yang sembahyang," ucap Ali, yang duduk di kelas 1 SMP, sambil menunjuk orang-orang di dalam klenteng.
Menurut Ali, sudah empat kali dia berburu angpau di klenteng. Orang tuanya tahu dan tidak marah. Mereka bertiga datang sejak pukul 08.30 WIB. Jika Bilal dan ketiga temannya berani meminta langsung, Ali memilih menunggu sampai orang-orang keturunan Tionghoa itu mengulurkan angpau untuknya. Tahun lalu, kata Ali, ia mendapat 10 ribu rupiah. Uangnya dia gunakan untuk jajan.
Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun ada yang sengaja berburu angpau di depan klenteng. Sundari (58), warga Perumahan Wisma Asri, Babelan, misalnya. Ia sudah dua kali berburu angpau di klenteng.
Tahun lalu, katanya, dia datang bersama tetangganya untuk menonton pertunjukan yang digelar di depan klenteng. Tapi, rupanya angpau menjadi daya tarik lain. Alhasil, tahun ini pun ia mengantri di depan klenteng mulai pukul sembilan pagi.
"Tahun kemarin, ada lawakan Bokir. Yang ada di tipi-tipi itu. Orang-orang Cina juga nge-lucu," tutur perempuan asli Jogja ini.