REPUBLIKA.CO.ID,TRENGGALEK -- Belasan buruh nelayan di pesisir Pantai Blado Munjungan Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mengaku rela bekerja seharian menarik jaring tarik sepanjang tiga kilometer tanpa diupah jika hasil tangkapan ikan minim.
"Mereka (buruh nelayan) bekerja dengan sistem pengupahan bagi hasil tangkapan ikan. Jika seharian tidak mendapat ikan ya tentu mereka tidak akan mendapat bayaran," kata Toha, warga pesisir Munjungan di Munjungan, Sabtu (6/2).
Ia mengungkapkan, sistem pengupahan bagi hasil tangkapan antara majikan selaku pemilik jaring sekaligus pemodal, itu sudah menjadi tradisi turun-temurun.
Tidak hanya di pesisir Munjungan, tetapi juga banyak diadopsi di daerah pesisir lain, seperti Prigi, Pacitan, Popoh, maupun Blitar.
"Buruh jaring tarik biasanya mendapat pembagian 25 persen dari total hasil tangkapan. Kalau tenaganya banyak, ya 25 persen itu dibagi rata," katanya.
Masalahnya, selama musim hujan yang telah berlangsung sejak akhir Desember 2015, volume tangkapan ikan nelayan cenderung minim. Saat cuaca cerah, adakalanya tangkapan melimpah. Pada saat cuaca berubah buruk, angin kencang, serta ombak tinggi, para nelayan jaring kebanyak pulang tanpa hasil.
"Sehari satu jaring tarik bisa ditebar di sepanjang perairan hingga tiga kali. Tapi juga tidak ada jaminan mereka akan mendapat hasil tangkapan ikan," kata Asmungi.
Sebagaimana pengalaman dan pengetahuan tradisional nelayan, cuaca buruk masih akan terus terjadi hingga April atau Mei mendatang. Namun, kondisi yang serba sulit itu tidak lantas membuat para nelayan setempat patah arang.
Tak sedikit kapal-kapal tradisional nelayan Pantai Blado nekat melaut meski tiap kali mereka pulang hanya menghasilkan beberapa ekor ikan berukuran sekepal tangan hingga paha orang dewasa. "Usaha kami hanya dari mencari ikan. Jadi mau tidak mau harus berusaha (mencari ikan) meski kami tahu itu sulit," katanya.