REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tempe merupakan makanan asli Indonesia. Meski demikian sudah bukan rahasia lagi jika selama ini kedelai yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe mayoritas masih menggunakan kedelai impor.
Minimnya produksi kedelai lokal membuat para pengrajin tempe di Sentra Industri Tempe Sanan, Kota Malang mengandalkan kedelai impor.
Sanan yang dikenal sebagai pusat produsen tempe terbaik di Malang dalam sehari membutuhkan pasokan puluhan ton kedelai. Primkopti "Bangkit Usaha" yang menaungi para pembuat tempe dan keripik tempe di Sanan mampu menjual enam ton kedelai dalam sehari. Selain koperasi tersebut, masih ada sekitar lima agen besar lain yang menyuplai kedelai ke para pengrajin tempe dan olahannya.
Bendahara Primkopti, Isman, mengatakan seluruh kedelai yang dijual kepada anggota koperasi adalah kedelai impor dari AS. Padahal dari segi rasa, kedelai lokal jauh lebih gurih daripada kedelai impor. Sayangnya kedelai lokal susah untuk didapatkan.
"Setelah panen raya kedelai lokal habis dalam tiga bulan," terang Isman kepada Republika, Rabu (3/3).
Dari segi harga, kedelai impor juga lebih murah dari kedelai lokal. Harga kedelai impor rata-rata Rp 6.700 per kilogram. Sedangkan kedelai lokal harus ditebus dengan harga Rp 7 ribu. Keunggulan lain dari kedelai impor adalah ukuran dan warnanya yang seragam. Kedelai lokal, kata Isman, ukuran dan warnanya tidak seragam.
Ukuran yang tidak homogen ini menyebabkan kedelai-kedelai kecil terbuang saat proses penggilingan. Warna kedelai lokal tak semuanya berwarna kuning. Kadang ada yang berwarna hijau atau hitam.
Seorang pengrajin tempe di Sanan bernama Taufik menuturkan usaha yang ia geluti puluhan tahun ini selalu menggunakan kedelai impor dari AS. Setiap harinya ia mengolah tak kurang dari 180 kilogram kedelai untuk dijadikan tempe.
"Kedelai impor lebih mekar saat matang sehingga ukuran tempe lebih besar," jelasnya. Satu kilo kedelai lokal dapat mengembang hingga 30-40 persen.
Hal ini berbeda dengan kedelai lokal yang justru menyusut ketika sudah diolah menjadi tempe. Sebagai pengusaha, menggunakan kedelai impor memberi Taufik marjin keuntungan yang lebih besar ketimbang menggunakan kedelai lokal. Selain itu kemudahan memperoleh bahan baku juga menjadi alasan ia memilih kedelai impor.
Pria 45 tahun ini tak menampik jika kedelai lokal memiliki cita rasa yang lebih unggul daripada kedelai impor. Namun harga kedelai lokal yang lebih mahal dan tidak adanya persediaan di pasaran membuat Taufik dan seluruh pengrajin tempe di Sanan enggan berpaling dari kedelai impor.