REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia keberatan dengan draft Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera) yang akan membebankan sumber pendanaan tersebut dari pelaku usaha. Pasalnya RUU tersebut akan tumpang tindih dengan program BPJS Ketenagakerjaan.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan, pemerintah bersama DPR berencana akan mensahkan RUU Tapera pada pertengahan Februari 2016. Rosan menegaskan, Kadin Indonesia maupun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah memberikan sikap untuk menolak RUU tersebut sejak November 2015.
"Apabila dalam pelaksanaannya dibebankan kepada dunia usaha, maka tidak membuat kami menjadi lebih kompetitif. Kita kan ingin mendorong dunia usaha menjadi lebih baik," ujar Rosan di Jakarta, Selasa (2/2).
Rosan menjelaskan, selama ini pelaku usaha sudah dibebankan biaya antara 10,24 persen sampai 11,74 persen dari penghasilan pekerja untuk program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Sementara itu, pelaku usaha juga telah mengeluarkan cadangan pesangon yang berdasarkan penghitungan aktuaria sebesar 8 persen. Pengeluaran tersebut masih ditambah dengan rata-rata kenaikan UMP dalam lima tahun terakhir sebesar 14 persen. Dengan demikian, total beban pengusaha mencapai sekitar 35 persen.
"Kalau ditambah lagi dengan Tapera, maka pengeluaran pengusaha akan dibebankan lagi sebesar 3 persen," kata Rosan.
Rosan mengatakan, target program Tapera aadalah masyarakat berpenghasilan rendah dan pekerja informal diluar pekerja formal atau pekerja mandiri yang telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu, sumber pendanaannya dapat diambil dari APBN, APBD, dan sumber pembiayaan publik lainnya yang selama ini sudah dipungut dari pelaku usaha melalui pajak.
Sedangkan, untuk pekerja formal dan pekerja mandiri yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan telah memperoleh program perumahan berdasarkan PP No. 99 Tahun 2013 dan PP No. 5 Tahun 2015. Peraturan tersebut yakni menyediakan program bantuan uang muka perumahan dan subsidi bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang sumbernya berasal dari pagu 30 persen portofolio pengelolan Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp. 180 triliun.
"Artinya, terdapat alokasi dana sebesar Rp. 54 triliun yang ditempatkan pada perbankan, selain itu BTN juga sudah punya program yang memberikan pendanaan seratus persen bagi masyarakat berpenghasilan rendah," kata Rosan.
Rosan menegaskan, Kadin Indonesia menolak jika RUU Tapera memaksakan pengenaan beban bagi pemberi kerja atau perusahaan sebesar 0,5 persen dari upah/gaji paling banyak sebesar 20 kali dari upah minimum. Hal ini akan menambah beban perusahaan yang sudah sangat besar. Selain itu, pekerja juga akan terbebani karena akan dipungut 2,5 persen dari gaji paling banyak sebesar 20 kali dari upah minimum. Padahal, total pungutan pekerja saat ini sudah mencapai 4 persen.
Menurut Rosan, RUU Tapera tersebut tidak sejalan dengan semangat utama penciptaan iklim investasi yang kompetitif. Upaya pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sejak September 2015 dapat terganggu dengan rencana pengesahan RUU Tapera, dan dapat menambah beban biayaa perusahaan. Apalagi di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pemerintah harus makin efisien dan memberikan insentif yang mendukung dunia usaha.
"Setiap kebijakan harus membuka lapangan kerja baru, sedangkan RUU Tapera ini justru dapat membuat investor berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia," kata Rosan.