REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Staf Presiden mengusulkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi satu-satunya lembaga penegak hukum yang menangani kasus korupsi. Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai untuk menangani kasus korupsi masih diperlukan lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan.
"Tidak mungkin KPK yang ada di Jakarta ini menangani seluruh Indonesia. Oleh karena itu, ada kepolisian dan kejaksaan yang menangani," jelas JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (29/1).
Ia beralasan, Indonesia merupakan negara yang sangat besar dengan penduduk yang padat sehingga KPK dinilai akan kewalahan jika menjadi lembaga tunggal yang menangani berbagai kasus korupsi. JK mengatakan, KPK menangani tindakan korupsi yang luar biasa dan besar serta memiliki efek yang besar terhadap negara.
"Tapi kalau korupsi kecil-kecil juga ditangani KPK, akhirnya KPK butuh kantor lagi seluruh Indonesia di double-double lagi semuanya," kata JK.
Karena itu, JK menilai keberadaan lembaga penegak hukum lainnya untuk menangani kasus korupsi masih diperlukan seperti saat ini. JK juga menyebut, KPK sebagai lembaga ad hoc diperlukan jika kasus korupsi dinilai masih tinggi.
Namun, jika jumlah kasus korupsi sudah mulai berkurang, maka penanganan tindakan korupsi dapat dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
"Malah sebenarnya pikiran awalnya KPK itu ad hoc hanya sementara selama korupsi tinggi itu ada KPK, tapi kalau sudah lebih stabil negeri ini dari korupsi, menurun maka kembali normal yaitu polisi dan kejaksaan," tambah dia.
Sementara itu, lembaga Transparency International (TI) menyebut indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2015 tercatat membaik. Peringat korupsi Indonesia menurun dari peringkat 107 ke peringkat 88 dari 168 negara.
Membaiknya peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia dipengaruhi oleh akuntabilitas publik yang meningkat serta upaya pencegahan korupsi.