REPUBLIKA.CO.ID, Pertengahan 1997, Pak Harto meninjau pasar beras Cipinang. Dia mengecek pasokan serta stok pangan (beras) yang saat itu tiba-tiba menghilang dan kurang akibat banyak hal, salah satunya sebagai imbas berlangsungnya musim kemarau yang panjang.
Tiba di sana, dia mengobrol dengan para kuli angkut yang tengah sibuk menurunkan beras dari atas truk. Beberapa orang kuli kemudian diajak menepi, mengobrol di tempat yang teduh. Maka, suasana ala ajang penyuluhan pertanian yang kala itu akrab disebut "Klompencapir" segera terjadi. Tanpa dinyana, di antara para kuli itu ada yang berani bercerita tentang berkurangnya persediaan beras. Kuli panggul itu dengan polos mengaku: "Pak, kami belum merasa makan (belum kenyang) bila belum menyentuh (menyantap) nasi.''
Pak Harto sambil senyum-senyum kemudian menjawab sembari berseloroh, ''Iya, saya tahu Anda kan selain harus makan nasi supaya merasaken kenyang. Nasi yang harus dimakan ketika di piring pun tak boleh setengah porsinya karena bisa membuat Anda merasa lemes tak bisa angkat dan panggul karung beras lagi. Saya juga tahu Anda malah harus makan nasi sampai sepiring munjung (satu piring sampai penuh dan porsi nasinya menggelembung kayak bukit kecil).'' Pak Harto menanyakan hal ini sembari terus mengembangkan senyumnya yang khas itu.
''Mau ikut transmigrasi?'' Tiba-tiba Pak Harto bertanya lagi kepada kuli panggul itu.
''Mboten mawon Pak (tidak mau Pak),'' jawab si kuli pangggul. Mendengar jawaban polos ini, Pak Harto hanya tersenyum simpul.
''Lho, katanya harus tetap bisa makan nasi sepiring munjung. Ya sudah kalau tak mau bertransmigrasi. Tapi, pokoknya nasinya 'tetap sepiring munjung' ya,'' kata Pak Harto sambil tangannya memperagakan bentuk porsi nasi sepiring munjung. Disindir presiden seperti itu, maka si kuli panggul pun terlihat tersenyum malu-malu.
Ya, itulah cerita zaman dulu, beda dengan sekarang karena ada imbauan rakyat tidak usah makan nasi banyak-banyak. Bukankah beda zaman pasti beda nuansa, beda penguasa juga beda perilaku...?
Advertisement