Jumat 29 Jan 2016 03:00 WIB

Pengelolaan Wisata DIY Harus Berkaca pada Bali

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Winda Destiana Putri
Malioboro
Foto: Antara
Malioboro

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Yogyakarta dikenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia.

Namun Sekwan DPRD DIY, Drajat Ruswandono menyampaikan, Yogyakarta masih harus berkaca pada Bali dalam bidang pengelolaan wisata. Baik wisata alam, maupun buatan.

Menurutnya, DIY memiliki misi menjadi pusat budaya, wisata, sekaligus pendidikan pada 2025. Namun sampai saat ini masih ada kekurangan yang dimiliki DIY. Di antaranya tata ruang pedagang kaki lima dan angkutan umum.

"Di sini trotoarnya sudah rapi. Kalau di Yogyakarta masih semerawut oleh pedagang," katanya dalam pertemuan dengan Pemprov Bali di Kantor Kegubernuran Bali, kemarin.

Ia menyampaikan, ada kesenjangan yang dirasakan DIY untuk mencapai misi 2025. Padahal batas waktu yang ditetapkan kurang dari 10 tahun lagi. Terutama dalam aspek wisata. Berbeda dengan Bali yang tampaknya sudah rapi dari segi pengelolaan wisata. Bahkan di pulau dewata, sektor wisata sudah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat setempat.

"Kami ingin belajar dari Bali. Kami juga punya desa wisata, tapi di sini desa wisatanya sudah sangat bagus. Selain itu penataan kaki lima di sini juga sangat tertib," ujar Drajat.

Ia menambahkan, hasil pertemuan dengan Pemprov Bali kali ini akan menjadi bekal tersendiri bagi pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan dan pengembangan wisata di DIY.

Kepala Bidang Pemasaran Pariwisata, Dinas Pariwisata Bali, Nyoman Wardawan mengemukakan, kebanyakan pengelolaan lokasi wisata di Bali dilakukan oleh desa adat setempat.

"Seperti Pantai Pandawa dan Pantai Kuta, itu pengelolaannya langsung oleh desa adat. Kalau diserahkan ke desa adat biasanya lokasi wisata lebih berkembang dan maju," ujar Nyoman.

Sebab desa adat memiliki sanksi mengikat yang juga berperan sebagai regulasi langsung dalam aktivitas di setiap tempat. Sehingga pengembangan dan pengaturan destinasi wisata di Bali lebih mudah dilakukan.

Meski begitu, hal tersebut bukan berarti pemerintah tidak memiliki peran dalam pengelolaan wisata. Pemerintah justeru berkewajiban menjadi fasilitator dan membina masyarakat untuk melakukan pelayanan wisata yang baik. Nyoman menjelaskan, keunggulan Bali dalam mengelola sektor wisata disebabkan oleh faktor waktu.

"Bali itu dikenal sebagi lokasi wisata sejak 1920-an. Jadi kita memang lebih dulu dari Yogyakarta. Kalau DIY lebih dulu dari kita, mungkin pengelolaan wisatanya bisa sama. Saya harap ke depannya Yogyakarta juga bisa berkembang lebih baik," ujarnya.

Nyoman menambahkan, pengelolaan pedagang kaki lima juga dilakukan oleh desa adat setempat. Begitupun dengan keberadaan desa wisata. Saat ini Bali memiliki 42 desa wisata yang sudah tersebar di berbagai kabupaten. Adapun target pengembangan desa wisata dari Pemprov Bali sebanyak 100 desa.

Namun begitu ia mengakui, pariwisata di Bali belum sempurna. Masih ada kekurangan di berbagai hal. Termasuk kebiasaan masyarakat sekitar tempat wisata yang terkadang sering memaksa wisatawan untuk membeli dagangannya.

"Untuk hal-hal semacam ini kami sudah memberikan pembinaan pada masyarakat. Ada juga workshop. Biasanya seluruh kepala adat desa kami kumpulkan, lalu kami beri pengertian tentang pelayanan pariwisata yang baik," ujar Nyoman.

Untuk pengembangan destinasi, tahun ini Bali tengah membidik medical tourism sebagai sektor wisata baru. Sekarang Pemprov setempat tengah mendirikan Rumah Sakit (RS) Bali Mandara di dekat Bandara Ngurahrai. Sebenarnya fasilitas kesehatan ini diperuntukkan bagi masyarakat umum. Namun di sebelah RS sengaja dibangun klinik khusus orang asing.

"Jadi kalau mau berobat tidak perlu lagi ke Singapura. Cukup di Bali saja," papar Nyoman. Selain itu, Bali juga sedang mencanangkan program khusus bagi wisata lansia. Sehingga orang-orang sepuh bisa menikmati usia lanjutnya di Bali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement