Senin 25 Jan 2016 11:01 WIB

Tes Psikologi Karyawan tak Sesuai dengan Budaya Indonesia

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Achmad Syalaby
 Peserta tes Calon pegawai Negeri Sipil (CPNS) melakukan simulasi tes secara online di kawasan Senayan, Jakarta, Rabu (20/8).(Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Peserta tes Calon pegawai Negeri Sipil (CPNS) melakukan simulasi tes secara online di kawasan Senayan, Jakarta, Rabu (20/8).(Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN - Hampir semua perusahaan dan lembaga pemerintahan menggunakan instrumen psikometri dan keahlian psikolog dalam proses rekrutmen dan pengembangan karyawan. Namun, sebagian besar teori dan model praktik psikologi di Indonesia masih mengadaptasi model di negara-negara Eropa dan Amerika Utara.

Sebanyak 80 persen alat-alat tes psikologi yang biasa digunakan untuk seleksi karyawan diimpor dari barat. Selain itu instrumen-instrumen ini dibuat pada 1940 hingga awal 1990 dan belum mengalami penyesuaian dengan konteks budaya masyarakat Indonesia. 

Kebiasaan mengimpor teori dari luar menimbulkan dua masalah serius. Pertama, bila tidak dikontekstualisasikan dengan baik, teori dan instrumen tersebut justru dapat menyebabkan misinterpretasi terhadap berbagai aspek psikologis dan perilaku orang Indonesia. Yang kedua, ketergantungan pada hal ini dapat menghambat kreativitas dan inovasi para psikolog Indonesia untuk menemukan dan mengembangkan konsep maupun instrumen psikologis yang baru. 

Hal ini melatar belakangi berdirinya Asosiasi Psikologi Indigenous dan Kultural (APIK) untuk mengadakan workshop dan kongres pada tanggal 24 sampai 26 Januari 2016 di Omah Petruk, Kaliurang.

Guru besar Fakultas Psikologi UGM Prof Kwartarini W. Yuniarti, Ph.D menyayangkan masih sedikitnya temuan peneliti Indonesia yang mendapatkan pengakuan dan dipublikasikan di jurnal-jurnal bertaraf internasional. 

“Saat ini masyarakat sepertinya tidak memiliki ideologi yang kuat, mudah sekali dipengaruhi oleh berbagai perubahan tren yang masuk dari luar. Relevansinya sangat tinggi untuk dapat memahami who we are. Jika kita sendiri tidak memahami identitas kita, bangsa-bangsa lain akan mendikte siapa kita dan apa yang harus kita kerjakan,” ujar Yuniarti, kemarin. 

APIK didirikan pada tahun 2013 oleh beberapa ilmuwan psikologi Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap masalah serupa. Adapun tujuannya untuk mendorong, mengembangkan dan melindungi para ilmuwan dan praktisi psikologi Indonesia untuk mengembangkan teori, alat ukur, dan model-model praktik yang sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.

Workshop dan kongres ini akan dihadiri oleh peneliti utusan dari pusat-pusat penelitian psikologi indigenous dan kultural di 15 universitas, mahasiswa, serta peneliti mandiri. APIK juga berperan memperkuat jejaring kerja dan semakin mengokohkan organisasi psikologi di Indonesia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement