REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Mobilitas internasional dari pekerja migran memberi dampak positif karena mengalirkan remitan ke daerah asal. Meski begitu, ada pula dampak negatif yang ditimbulkan, yakni tingginya angka perceraian bagi keluarga migran.
Hal ini dikemukakan Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram, Lalu Tajuddin dalam disertasinya di program Doktoral UGM. Penelitian yang dilakukan di Lombok Timur, NTB terhadap pekerja migran menunjukkan banyaknya kasus perceraian. “Sebagian besar kasus cerai gugat dialami rumah tangga pekerja migran,” kata Lalu Tajuddin, kemarin.
Ia mengemukakan, pada 2010 di Lombok Timur terdapat 724 kasus perkara perceraian. Semuanya terdiri 613 dari kasus cerai gugat dan sisanya cerai talak. Selanjutnya, hingga pertengahan 2011, kasus perceraian mencapai 442 perkara. Sebanyak 370 di antaranya merupakan cerai gugat. Bahkan hingga April 2013, tercatat ada 73 kasus, dan 55 diantaranya kasus cerai gugat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, para pekerja migran asal Lombok Timur yang bekerja di perkebunan sawit Malaysia Timur meninggalkan pasangan mereka di daerah asal. Tajuddin berkesimpulan, tingginya angka perceraian kasus gugat cerai di Lombok timur disebabkan oleh keberanian kaum perempuan Sasak yang mulai memahami posisi mereka.
Saat ditinggal suaminya, mereka tidak hanya berperan sebagai istri tetapi juga menjadi kepala keluarga. “Selama ini mereka hanya diposisikan nomor dua akibat ideologi patriarki,” katanya. Meski demikian, kata Tajuddin, tingginya angka perceraian ini lebih disebabkan oleh perasaan kesepian dan kesendirian yang dialami pasangan yang ditinggalkan.
“Kesepian yang dapat muncul berupa gejolak pribadi dalam bentuk stres. Setiap personal menyikapi rasa stres itu dengan cara masing-masing. Ada yang mengelola secara posistif dan ada juga menghadapi stres dengan melakukan hal-hal yang negatif,” katanya.
Adapun kegiatan positif yang dilakukan pasangan yang ditinggalkan adalah dengan menjadi buruh tani, buruh bangunan, atau aktif menghadiri majelis ta’lim untuk sedikit menekan rasa kesepian. “Namun ada juga yang melampiaskannya ke dalam cara lain dengan melakukan perilaku menyimpang,” katanya.
Menurut Tajuddin, pemerintah perlu mengupayakan pembinaan mental dan pembekalan terhadap pekerja migran. Terutama pada saat persiapan akhir pemberangkatan dengan melibatkan unsur-unsur terkait untuk mengantisipasi adanya perilaku menyimpang.
Antara lain mengenai pemahaman hak dan kewajiban pekerja migran terhadap pasangannya selama bekerja di luar negeri. “Pemerintah daerah tidak hanya sekedar memberi pembekalan. Namun harus juga melakukan pemberdayaan untuk meningkatkan pendapatan dan mengisi waktu luang pasangan yang ditinggalkan dengan kegiatan positif,” katanya.