REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dinilai bakal memicu konflik sosial jika proyek tersebut tidak menyerap tenaga kerja asal Kabupaten Bandung Barat (KBB). Bahkan, pemerintah KBB dikhawatirkan cuma menjadi penonton.
Direktur Pusat Kajian Politik Ekonomi dan Pembangunan (Puskapol Ekbang) KBB, Holid Nurjamil menuturkan, pembangunan infrastruktur di manapun tentu akan menimbulkan dampak sosial terhadap masyarakat sekitar.
Ketika tenaga kerja lokal pada proyek tersebut tidak terserap, maka dampak sosialnya akan menjadi tinggi. Bahkan, dampak tersebut bakal kian memanas jika pihak perusahaan malah membawa sendiri tenaga kerjanya.
"Nah ini dalam jangka panjangnya akan memicu konflik sosial. Ini harus dipikirkan oleh Disnaker (Dinas Ketenagakerjaan)," kata dia, Jumat (22/1).
Pemerintah daerah, baik itu provinsi ataupun kabupaten, pun dinilai harus proaktif dalam persoalan itu. Pemda tidak bisa hanya menunggu itikad baik dari pihak perusahaan patungan itu, justru harus bersikap jemput bola. "Pemda sebagai pelayan publik harus mencoba proaktif ke BUMN itu yang menjadi pelaksana proyek," ujar dia.
Holid khawatir banyak tenaga kerja kasar asal KBB yang tidak terserap dalam pengerjaan proyek tersebut. Sebab, kebanyakan para tenaga kerja kasar di KBB itu tidak bersertifikasi. Di sisi lain, Cina sangat kritis untuk persoalan sertifikasi ini.
"Yang saya takutkan, itu malah tidak terserap. Makanya pemda harus bisa menyuarakan persoalan ini ke pelaksana proyek," ujar dia.
Menurut dia, ada pengalaman tentang perusahaan asal Cina yang tidak mengutamakan tenaga kerja lokal di beberapa proyek, misalnya, pabrik semen di daerah Lebak, Provinsi Banten. Dalam pabrik ini, kata dia, ada sekitar 500 orang tenaga kerja asing yang dibawa oleh perusahaannya langsung dari Cina.
Holid menambahkan, Cina pun kerap mempertanyakan soal sertifikasi yang tidak dimiliki pekerja kasar Indonesia dalam pabrik tersebut. Mereka, kata dia, tidak mau mempekerjakan orang yang tidak punya sertifikasi.
Karena itu, Cina membawa sendiri orang-orangnya untuk dipekerjakan sebagai buruh kasar. "Apalagi mereka juga menilai tenaga kerja yang mereka bawa itu lebih murah," ujar dia.
Ironisnya, tenaga kerja kasarnya pun menggunakan tenaga kerja asing hanya karena telah mempunyai sertifikasi. "Di sana untuk tenaga kasarnya saja pakai orang dari Cina. Khawatirnya di proyek kereta cepat ini seperti itu juga," tutur dia.
Holid mengakui, kelemahan tenaga kerja Indonesia saat ini memang pada sertifikasi. Banyak tenaga kerja kasar yang belum bersertifikasi. Kondisi ini berbeda dengan beberapa negara di Asia lain, seperti Filipina dan Cina, yang tenaga kerjanya sudah disertifikasi. Bahkan untuk tenaga kasar buruhnya sekalipun.
"Nah di kita itu belum ada. Tapi ya masa untuk kuli bangunan atau tenaga kasar saja orang kita nggak mampu. Pasti bisa lah," kata dia.
Padahal, menurut Holid, KBB itu dikenal sebagai penyuplai buruh bangunan terbesar kedua di Jawa Barat setelah Majalengka. Dia mengatakan banyak buruh bangunan asal Cikalongwetan, Cipeundeuy, Cililin, dan Cipatat yang menjadi buruh bangunan di Jakarta dan Bandung. "Bahkan kalau dipersentasekan itu tidak kalah dengan jumlah buruh tani di KBB," lanjut dia.
Sementara itu, Kasi Perluasan dan Penempatan Tenaga Kerja Dinsosnakertrans KBB Sutrisno menuturkan, hingga kini pihak pelaksana proyek kereta cepat itu, PT Kereta Cepat Indonesia Cina, belum mengajukan permintaan terkait penggunaan tenaga kerja lokal asal KBB. "Padahal harusnya juga melibatkan tenaga kerja lokal," ujar dia.