REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Insiden teror yang masih saja terjadi di tanah air menunjukkan masih minimnya penanganan teror secara simultan dan menyeluruh antara aspek preventif dengan penindakan. Ini juga berlaku bagi aksi separatisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Koordinator Presidium FSKS Yogya, Achmad Arrozy mengatakan kenyataannya dua aspek tersebut tidak dijalankan secara bersamaan. Ini menyebabkan muncul kembalinya tunas-tunas baru terorisme dalam bentuk yang lebih rumit untuk dilacak.
Situasi saat ini membutuhkan kondisi yang serba cepat antara aparatur intelejen dengan pelaku teror dan separatis yang sama-sama melakukan strategi kontra intelejen. "Jika pelaku teror maupun separatis melakukan aksinya terlebih dahulu, maka yang terjadi seperti tragedi bom Thamrin yang menimbulkan nuansa teror dan kepanikan dalam ruang publik," ujarnya dalam pernyataan tertulis, Kamis (21/1).
Menurut dia, ledakan bom di kawasan Sarinah Thamrin harus menjadi pelajaran bersama mendorong berbagai elemen negara melakukan aksi preventif yang maksimal terhadap terorisme dan separatisme. Tentunya lembaga negara yang berwenang dalam hal ini adalah Badan Intelejen Negara (BIN).
Namun mengutip pernyataan pengamat politik, Tjipta Lesmana, BIN harus tetap bekerja sesuai dengan prosedur berbasis Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu perlu komitmen dan sinergisitas antar lembaga negara melakukan penguatan kepada BIN, salah satunya melakukan revisi Undang-Undang Intelijen Negara Nomor 17 Tahun 2011 secara komprehensif.