REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain mengatakan Indonesia membutuhkan banyak peneliti taksonom untuk mengenal dan mengidentifikasi keanekaragaman hayati (kehati) yang jumlahnya mencapai sekitar 3 juta spesimen.
"Memang kami kekurangan taksonom. Ke depannya, kami berharap bisa merekrut, hanya saja persoalannya dari tahun lalu sampai tahun ini selalu moratorium, sementara yang 'expert' banyak yang akan pensiun," kata Profesor Iskandar usai peluncuran dokumen IBSAP 2015-2020 di Gedung Bappenas Jakarta, Kamis (22/1).
Iskandar menjelaskan jumlah peneliti yang ideal adalah minimal seribu peneliti per satu juta penduduk, namun Indonesia yang masih jauh dari ideal hanya mampu mencapai 40 peneliti per satu juta penduduk.
"Kalau lihat negara Eropa di atas 2.000 peneliti, Korea Selatan sudah sekitar 4.000 peneliti...," ujar Iskandar.
Ia menjelaskan kebutuhan peneliti di bidang taksonomi sangat besar, terutama untuk spesimen amuba yang saat ini belum sama sekali memiliki taksonom.
Menurut data LIPI, ada sekitar satu juta spesimen tumbuhan yang dikumpulkan sejak 1841 dan dikoleksi dari Herbarium Bogoriense.
Sementara itu, spesimen binatang sebagai koleksi ilmiah dari Museum Zoologicum Bogoriense mencapai 3 juta spesimen yang dikumpulkan sejak 1819.
LIPI mengakui masih belum memiliki banyak data akan identifikasi begitu banyaknya spesimen yang terdapat dalam 74 variasi ekosistem di Indonesia.
Sejauh ini negara baru mampu mengidentifikasi sekitar 30 persen kekayaan fauna dan 50 persen kekayaan flora yang dimiliki.
Oleh karenanya, riset untuk mengidentifikasi kehati menjadi sangat penting dengan dukungan pendanaan dan sumber daya manusia yang mumpuni.