Kamis 21 Jan 2016 06:00 WIB

Menjaga Indonesia (1)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Aksi teror pekan lalu (14/1) di sekitar kawasan Sarinah-Menara Cakrawala, Jalan Thamrin, Jakarta, menunjukkan masih adanya kalangan warga Indonesia yang ingin menghancurkan bumi Allah tercinta ini. Dengan korban akhir delapan orang tewas dan 26 luka-luka, para pelaku yang terduga keras berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak sekadar menciptakan teror. Tujuan pokoknya adalah menghancurkan negara Indonesia dan menggantinya dengan daulah Islamiah dalam bentuk khilafah, seperti dicitakan ISIS.

Tidak masuk akal jika upaya penghancuran Indonesia itu dilakukan dengan mengimpor konflik, kekerasan, dan saling bunuh di antara berbagai pihak di dunia Arab di Timur Tengah. Inilah masa paling kritis di antara negara-negara Arab di mana konflik dan perang melanda sebagian besar wilayahnya.

Lihatlah apa yang terjadi di Suriah dan Irak yang terus mengalami konflik dan kekerasan internal. Keadaan inilah yang memberikan kesempatan bagi kemunculan ISIS (kemudian dikenal sebagai IS atau Da'is/Dawlah Islamiyyah). Terutama, sejak April 2013 ketika kelompok militan-teroristik ini mendeklarasikan khilafahnya di bawah pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi. Sejak itu, ISIS menguasai wilayah cukup luas yang milik Suriah dan Irak.

Meski berbagai kekuatan internasional, seperti Rusia, AS, Turki, dan negara-negara Arab sendiri belakangan ini mengintensifkan usaha menghancurkannya, ISIS yang mengalami langkah mundur kelihatan tetap mampu bertahan dan melanjutkan berbagai aksi biadabnya di wilayah yang langsung dikuasainya maupun di tempat lain, seperti di Prancis dan Indonesia melalui jaringannya.

Lalu, kekerasan dan perang juga masih berlanjut di Yaman antara koalisi Arab Saudi bersama sejumlah negara Arab lain melawan pemberontak Houthi. Sudah sekitar 4.000 warga sipil tewas dan puluhan ribu luka-luka serta terusir dari kampung halaman mereka.

Sejak intervensi Arab Saudi dan koalisinya pada 26 Maret 2015, tidak terlihat tanda aksi militer Saudi dapat menyelesaikan masalah di Yaman. Banyak analis menyatakan, inilah perang yang tidak bisa dimenangkan (unwinnable wars) Arab Saudi. Perang ini tidak bakal menghasilkan apa-apa, kecuali kehancuran kemanusiaan dan peradaban.

Instabilitas politik juga terus bertahan di Libya dan Mesir. Libya masih mengalami konflik dan kekerasan di antara berbagai pihak dan kabilah yang berusaha menguasai kekuasaan. Sejauh ini, tidak terlihat tanda meyakinkan berakhirnya konflik dan kontestasi kekuasaan di Libya.

Sementara, di Mesir, tangan besi kekuasaan militer pimpinan Presiden Jenderal el-Sisi belum mampu pula menghancurkan anasir radikal di kalangan organisasi al-Ikhwal al-Muslimun yang sudah dilucuti dalam berbagai segi eksistensinya. Karena itu, apa yang yang terus terjadi adalah war of attrition, perang panjang yang terkait banyak dengan 'daya tahan' masing-masing pihak.

Sementara, fron baru konflik yang membuat kawasan Timur Tengah kian membara tercipta pula sejak awal 2016 antara Arab Saudi dan beberapa negara sekutunya pada satu pihak dengan Iran di pihak lain. Ketegangan ini bermula dari eksekusi hukuman mati pada 2 Januari 2016 terhadap 47 orang, termasuk tokoh Syiah Syaikh Nimr al-Nimr. Eksekusi ini berbuntut dengan demo besar anti-Saudi di Teheran yang berujung dengan pemutusan hubungan diplomatik Saudi dan beberapa negara Arab lain dengan Iran.

Terlibat kontestasi dan perebutan pengaruh sejak awal 1980-an, ketegangan antara Arab Saudi versus Iran mengancam stabilitas politik, ekonomi, dan agama, bukan hanya di kawasan Timur Tengah, melainkan juga bisa mengimbas ke wilayah lain. Ketegangan dan konflik sektarianisme Suni versus Syiah jelas meningkat pula di berbagai kawasan dunia Muslim, termasuk di Indonesia.

Apakah perang terbuka bakal pecah antara Saudi dan sekutunya melawan Iran? Banyak analis melihat adanya kemungkinan tersebut, walaupun tidak terlalu besar. Apakah perang itu terjadi atau tidak, yang jelas proxy wars di antara kelompok atau agen masing-masing negara di tempat-tempat lain bakal meningkat pula. Proxy wars di antara kelompok pendukung Saudi atau Iran telah terjadi di Lebanon, Suriah, Yaman, Afghanistan, Pakistan, dan mulai menunjukkan gejala di Indonesia.

Keadaan menyedihkan juga terjadi di Nigeria dengan Boko Haram yang masih bertahan dengan brutalitasnya. Aksi teroris terjadi di Hotel Splendid Burkina Paso, sehari setelah teror di Jalan Thamrin, Jakarta, menewaskan setidaknya 23 orang. Alqaidah mengklaim bertanggung jawab atas aksi brutal ini.

Brutalitas ISIS, Alqaidah, Boko Haram, dan semacamnya di berbagai wilayah dunia yang melanggar ajaran Islam dan norma kemanusiaan berketuhanan dan beradab justru ingin ditiru dan dilakukan sekelompok warga Indonesia. Mereka ingin menghancurkan Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Ke mana akal sehat, nalar, dan nurani para teroris warga Indonesia tersebut?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement