Senin 18 Jan 2016 05:15 WIB

Sejarah Sarinah dari Pengasuh Bung Karno Hingga Jadi Toko Sosialis

Red: Nur Aini
Sejumlah wartawan melakukan peliputan pasca penyerangan teroris di pos polisi dan sejumlah gedung di Sarinah Thamrin Jakarta, Jumat (15/1).
Foto:

Sarinah adalah toko serbaada atau department store pertama di Indonesia. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1962.

"Sarinah merupakan 'sales promotion' barang-barang dalam negeri, terutama hasil pertanian dan perindustrian rakyat. Bangunannya dirancang dengan bantuan Abel Sorensen dari Denmark dan dibiayai dari rampasan perang Jepang," kata Bung Karno seperti dikutip dari laman resmi Majalah Historia, historia.id.

Sarinah, seperti termaktub dalam buku Bung Karno-Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, sejatinya adalah nama pengasuh Putra Sang Fajar ketika kecil. "Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk di sampingnya dan kemudian ia berpidato, 'Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi, kemudian engkau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya'," kata Bung Karno.

Karena itulah konsep pendirian department store Sarinah juga dilandasi keberpihakan Sukarno kepada rakyat Indonesia, terutama rakyat miskin, agar bisa berdiri di kaki sendiri secara ekonomi.

"Yang boleh impor hanya 40 persen. Tidak boleh lebih. Sebanyak 60 persen mesti barang kita sendiri. Juallah di situ kerupuk udang, 'potlot' bikinan kita sendiri," kata Bung Karno dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora, 15 Januari 1966, dikutip dari historia.id.

 

Perkataan Sukarno itu tidak lepas dari sosialisme yang sangat populer sebelum Presiden Soeharto naik takhta pada tahun 1968. Bahkan, department store pertama di Indonesia ini juga terinspirasi dari gedung serupa yang ada di negara-negara yang saat itu masih bercorak sosialis. Dia mengatakan bahwa tidak ada satu pun negara sosialis yang tidak memiliki satu distribusi legal.

"Datanglah ke Peking. Datanglah ke Nanking. Datanglah ke Shanghai. Datanglah ke Moskow. Datanglah ke Budapest. Datanglah ke Praha. Ada," ujarnya.

Sayangnya, sejarawan dan penulis Peter Kasenda menilai keberadaan Sarinah saat ini tidak lagi sesuai dengan cita-cita Bung Karno. Menurut dia, pergantian kekuasaan ke Soeharto sangat memengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia yang awalnya berorientasi sosialisme menjadi liberalisme.

"Saat Orde Baru berkuasa, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Ini yang menyebabkan arus modal dari luar negeri mengalir deras dan sangat memengaruhi perubahan Sarinah," kata Peter.

Ia mengatakan bahwa Sukarno mencanangkan Sarinah sebagai penyalur kebutuhan pokok rakyat menengah ke bawah. Akan tetapi, yang terjadi Sarinah lebih menjadi konsumsi orang asing. Namun, dia melihat sedikit perubahan.

"Akhir-akhir ini saya mengamati Sarinah mulai kembali menyesuaikan 'track'-nya. Namun, sayang produk yang dijual tidak ada jenis yang lain, seperti kebutuhan pokok," katanya.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement