REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden bom dan korban yang berjatuhan di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1) siang membuat banyak pihak mempertanyakan kinerja intelejen dan kepolisian, baik sebelum dan saat terjadinya serangan. Menurut pengamat intelijen, Soeripto setidaknya ada dua analisa mengapa tidak ada peringatan dini dan banyaknya jatuh korban saat serangan bom itu.
"Pertama pemetaan yang tidak teliti dari intelijen, kedua pihak yang eksekusi aparat keamanan dan pemerintah yang hirau atau menyepelekan masukan dari intelijen," katanya kepada Republika.co.id, Kamis (14/1).
Ia menjelaskan pemetaan oleh pihak intelijen itu penting untuk diperbarui, bagaimana pola perkembangan setelah bom bali hingga sekarang. Dan mantan Staf Kepala BAKIN era 1967 atau Badan Intelejen Negara saat ini menilai tidak mungkin intlijen kebobolan.
Ia tegaskan analisa dan warning intelegence seharusnya sudah dilakukan dengan teliti dan tekun serta sistem juga sudah berjalan dengan baik. "Jadi mappingnya bagaimana, apakah hanya sembarangan, tapi saya yakin tidak," katanya. Sedangkan jatuhnya korban sipil saat insiden ia mempertanyakan pengamanan aparat kepolisian saat itu yang seharusnya sudah langsung steril.
Soeripto mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhitungkan, enabling groups dan enabling support. Yakni kelompok yang pelakunya memang dari kelompok utama fanatik ideologi atau kelompok yang memfasilitasi. Dalam sejarah dan kasus terorisme di Indonesia, pelaku teror miskin dan tidak punya senjata. "Siapa yang memberi uang dan senjatanya. Ini harus diwaspadai," ujarnya.
(baca: Pengamat Pandang Pemerintah Seharusnya tak Kecolongan)