Rabu 13 Jan 2016 09:46 WIB

Bertahan Hidup di Tanah Mati (Habis)

Gunung Sinabung mengeluarkan material vulkanis ketika erupsi, dilihat dari Desa Tiga Serangkai, Karo, Sumatera Utara, Jumat (13/11).
Foto: Antara/Irsan Mulyadi
Gunung Sinabung mengeluarkan material vulkanis ketika erupsi, dilihat dari Desa Tiga Serangkai, Karo, Sumatera Utara, Jumat (13/11).

Aktivitas Gunung Sinabung sejak dua tahun lampau belum mereda. Erupsi dahsyat gunung ini menyisakan sejumlah desa yang tak lagi berpenghuni. Wartawan Republika, Issha Harruma, menyambangi desa-desa tersebut dan menuliskan pengalamannya. Berikut bagian terakhir dari dua tulisan.

REPUBLIKA.CO.ID -- Figur Gunung Sinabung yang menjulang gagah terlihat jelas dari Desa Kuta Gugung, Naman Teran, Karo. Desa ini tepat berada di kaki gunung aktif tertinggi se-Sumatra Utara tersebut. Meski begitu, letak desa yang memunggungi jalur aliran lava dan awan panas membuat warga Kota Gugung melupakan rasa takut mereka.

Saat saya mengunjungi desa ini, Sabtu (9/1) siang, beberapa warga terlihat masih bertani di lahan mereka. Satu-dua warga lainnya tampak sibuk merapikan tanaman dan semak yang tumbuh lebat di halaman rumah.

Desa ini memang tidak separah desa Bekerah, Simacem, dan Sukameriah yang habis terdampak letusan Sinabung. Tidak pula seperti desa Sukanalu dan Sigarang-garang yang ditinggalkan seluruh penghuninya. Dari kedua desa itu terdengar jelas suara luncuran batu dari puncak Sinabung.

Desa Kuta Gugung hanya terdampak abu vulkanis. "Paling parah yang batu itu, batu besar, panas. Pecah semua kaca mobil, seng rumah rusak. Makanya enggak disuruh pemerintah ke sini," kata Semi Sembiring, salah satu warga yang saya temui.

Namun, aktivitas yang dilakukan tak lebih dari 10 warga yang saya temui ini tidak lantas membuat kampung ini hidup seperti dulu. Seiring dengan meningkatnya aktivitas Sinabung pada tahun 2013, seluruh warga Desa Kuta Gugung diungsikan ke posko Jambur Korpri, Berastagi. "Siang aja-nya gini. Kalau malam, udah balik ke posko. Paling satu dua yang nginep," ujarnya.

Semi mengatakan, sebagian besar warga desanya mengandalkan hasil bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sama seperti kebanyakan masyarakat yang tinggal di kaki gunung.

Desa ini pun memang dikenal sebagai salah satu penghasil sayur-mayur di tanah Karo. Inilah yang kemudian membuat masyarakat Desa Kuta Gugung nekat tetap bertani atau berladang di tengah aktivitas Sinabung yang tak terprediksi. "Payah (sukar) kalau enggak kemari kita (untuk berladang). Dikasih pemerintah kan enggak (uang)," kata dia.

Menyusuri deretan ladang kol, kentang, tomat, dan cabai, terlihat abu putih tipis menyelimuti. Abu serupa terlihat hampir merata hingga tanah di bawah tanaman tersebut.

Paparan abu vulkanis inilah yang disebut membuat kondisi tanah di Desa Kuta Gugung berubah. "Apa pun ditanam sekarang enggak jadi. Cabai ini banyak kali keriting. Semua mengeluh," ujar Semi dengan nada getir.

Ia mengaku tak tahu pasti penyebabnya. Berbagai hasil tanaman yang ditanam di lahannya tidak lagi seperti dulu. Hal ini pun dinilai belum menjadi perhatian serius pemerintah. Ia menyebut, selama ini, pemerintah belum pernah datang untuk meneliti keadaan itu. "Itu yang perlu diperhatikan pemerintah, datang kemari, tengok ladangnya, kenapa tanah itu gitu sekarang. Apa yang cocok, pupuknya apa. Enggak kita minta modalnya," kata Semi.

baca juga: Abu Gunung Membawa Sepi (bagian 1)

Seusai menyusuri Desa Kuta Gugung, saya bergerak ke Dusun Lau Kawar yang lebih dekat dengan Sinabung. Menggunakan sepeda motor, saya menyusuri jalan berbatu yang licin.

Hanya suara deru mesin yang menemani perjalanan saya. Sesekali, suara jangkrik dan serangga hutan lain terdengar kencang mengalahkan suara mesin kendaraan saya. Hamparan danau Lau Kawar seluas 200 hektar menyambut kala memasuki dusun ini.

Posisi Lau Kawar tepat di kaki gunung Sinabung. Hutan yang masih hijau menjadi batas antara dusun ini dan kaki Sinabung. Lau Kawar pun terlihat lebih hijau dibanding Desa Kuta Gugung. "Inilah ujungnya dusun ini. Sebelah sana udah enggak ada lagi orangnya. Udah ditinggal ke posko," kata Celsi Pembrina Tarigan, warga Lau Kawar.

Celsi merupakan satu dari enam warga Lau Kawar yang saya ditemui itu hari. Ia mengatakan, dulunya, lebih dari 50 kepala keluarga menghuni desa ini. Sekarang, sama seperti warga desa Kota Gugung, warga dusun Lau Kawar juga diungsikan ke posko Jambur Korpri, Berastagi.

Di siang hari, sama seperti Celsi, beberapa warga sini datang kembali untuk berladang. "Siap (selesai) berladang, kalau sempat ya pulang, kalau enggak, tidur di sini," ujarnya. "Takutnya ya takut jugalah. Semua orang takut. Tapi gimana lagi kalau enggak ke sini? Terpaksa kami bolak-balik kemari," kata Celsi melanjutkan.

Tak jauh dari rumah Celsi, saya bertemu dengan Edo Ginting yang sedang beristirahat setelah berladang. Ia datang untuk mengurus ladang cabai dan kentang miliknya. "Tanahnya enggak bagus sekarang. Udah tandus," ujar dia.

Edo mengaku sudah mendengar rencana relokasi dari pemerintah. Namun, ia belum mengetahui secara pasti lokasi yang akan ia dan warga Lau Kawar lain huni. "Bulan dua ini katanya penentuannya," ujar Edo.

Ia berharap relokasi tersebut dapat segera direalisasikan. Tak hanya rumah, tetapi juga tanah untuk berladang. "Biar enggak terombang-ambing lagi. Kalau enggak kerja kan susah kami. Bantuan makanan ada ke posko, kalau uang kan enggak ada. Anak sekolah aja yang dikasih (uang)," kata dia.

Obrolan saya bersama Edo, laki-laki berusia 56 tahun ini, harus berakhir seiring dengan semakin turunnya matahari ke arah barat. Ia harus pulang kembali bersama keluarganya yang menunggu di posko pengungsian. Saya pun harus bergegas pergi sebelum gelap menemani perjalanan saya kembali menuju ke tempat keramaian.n

Tulisan ini dimuat di halaman 1 Koran Republika edisi Rabu (13/1)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement