REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi umat Islam di Indonesia menunjukkan fenomena bertolak belakang dengan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Meski kaum Muslim masih menjadi mayoritas di negeri ini, namun jumlahnya terus menurun.
Ketua Yayasan Rumah Peneleh Aji Dedi Mulawarman mengatakan, ketika pemeluk Islam secara global naik signifikan, di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia persentasenya malah menurun.
"Umat Islam (di Indonesia) dari 95 persen menjadi 85 persen, ada anomali di dalam pusat Islam di Nusantara," kata Aji dalam diskusi 'Refleksi Perjalanan Politik Kaum Muslimin di Indonesia' di Jakarta, Sabtu (9/1).
Menurut dia, umat Islam dari waktu ke waktu seolah tidak berdaya. Di bidang politik, misalnya trend suara politik umat Islam cenderung menurun. Dia menuding ada agenda liberalisme, individualisme, deislamisasi, dan depolitisasi yang membuat umat semakin tersisih.
Dia mencontohkan, ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan membesar, ada kekuatan sistematis yang menghancurkannya. Adapun, Partai Bulan Bintang (PBB) tidak memiliki struktur dan pengaderan yang masif hingga tidak bisa berkembang.
"Tahun 2024, umat Islam di Indonesia sebagai simbol umat Islam dunia akan seperti apa? Angka 24 menjadi penting dalam upaya konsolidasi umat agar tidak menjadi buih," kata Aji.
Dia meyakini, ada hadis terkait pembaharu 100 tahun, di mana umat akan bangkit pada Pemilu 2024 kalau konsolidasi dimulai sekarang. Dia menyatakan, Rasulullah lahir tahun 624, Yazid 724, Al Ma'mun 824, Sabrang Lor dan Trenggono 1524, Diponegoro 1824, dan Tjokroaminoto 1924. "Siklus 100 tahun, setiap perubahan selalu terjadi konsolidasi umat."
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra mengatakan, harus diakui umat Islam seolah menjadi tamu di negeri sendiri. Padahal, kata dia, wakil presiden pertama RI, Moh Hatta, telah melarang orang timur asing menjadi presiden dan memiliki tanah di Indonesia. "Sebab mereka tidak ikut berjuang, karena masa penjajahan Belanda, Jepang mereka membantu," ujar Yusril.
Saat ini, sambung dia, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dimiliki korporasi besar, seperti Ciputra dan Podomoro yang mereka juga menguasai perkebunan. "Ini berbeda dengan apa yang diinginkan Moh hatta, kalau tanah ini tidak boleh dimiliki timur asing," kata mantan menteri sekretaris negara tersebut.