REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN - Pada akhir abad ke-20 industri pariwisata telah mengambil porsi sebesar 10,2 persen dari total produksi bruto dunia. Dengan 240 juta orang terlibat di dalamnya, sejak era tersebut skala industri ini telah berkembang secara signifikan.
Saat ini, konsumsi pariwisata memberi kontribusi sebesar 10 persen dari total konsumsi dunia. “Bagi kota wisata bersejarah, termasuk Yogyakarta, menyeimbangkan pengaruh industri pariwisata dengan strategi pembangunan yang berkelanjutan menjadi tantangan bagi masyarakat serta pemerintah. Konsentrasi turis dan pembangunan industri pariwisata di kota bersejarah berpotensi membawa berbagai permasalahan,” ujar Prof. Dr. Yoshifumi Muneta dalam Tourism Heritage Seminar 2016.
Seminar yang diadakan Pusat Studi Pariwisata UGM bersama Jogja Heritage Society ini membahas materi pembangunan dan perubahan pariwisata di Kyoto dalam konteks pelestarian dan revitalisasi Kyoto sebagai kota bersejarah.
Seiring dengan pergeseran industri Jepang dari perekonomian berbasis bisnis manufaktur ke perekonomian berbasis perdagangan dan jasa, industri pariwisata menjadi perhatian utama bagi pemerintah. Meski memiliki potensi yang besar sebagai penggerak ekonomi nasional, pertumbuhan industri pariwisata menimbulkan ancaman terhadap kelestarian situs-situs yang menjadi aset budaya dan sejarah.
Dalam membangun industri pariwisata, kebijakan yang diambil pemerintah Jepang berfokus pada tiga hal. Antara lain memindahkan pusat pariwisata dari situs bersejarah ke fasilitas-fasilitas komersil, mengubah gaya wisata tamasya menjadi kegiatan yang lebih partisipatif dengan pengenalan terhadap etika dan filsafat budaya Jepang, serta melibatkan wisatawan ke dalam kehidupan sehari-hari warga lokal agar mereka dapat mendapatkan pengalaman yang lebih dekat agar di saat yang sama mereka turut memajukan kehidupan warga lokal.
Melalui kebijakan demikian pemerintah dapat melindungi situs-situs bersejarah namun tetap mendorong komersialisasi kota melalui alternatif wisata yang lebih modern. Yogyakarta, menurut Yoshifumi, pun terus berkembang sebagai kota wisata.
“Terakhir kali saya mengunjungi Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, suasananya sangat berbeda. Sekarang menjadi lebih ramai, dan kotanya banyak berubah,” jelas pengajar di Departemen Desain Lingkungan, Kyoto Prefectural University itu.
Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM Dr. Ir. Djoko Wijono, menyambut baik masukan Yoshifumi untuk menjadi pelajaran bagi pembuatan kebijakan pembangunan pariwisata di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. “Kyoto dan Yogyakarta sebagai sister city diharapkan dapat terus menjalin hubungan yang baik dan bekerja sama,” ujarnya.