Kamis 07 Jan 2016 17:43 WIB

Jawa Timur Disebut Darurat Limbah Berbahaya

Rep: Andi Nurroni/ Red: Ilham
 Warga menyebrang di sungai yang tercemar limbah industri dan rumah tangga (ilustrasi).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Warga menyebrang di sungai yang tercemar limbah industri dan rumah tangga (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pesatnya pertumbuhan industri di Jawa Timur tidak diimbangi dengan kesiapan manajemen limbah yang baik. Hingga saat ini, Jawa Timur belum memiliki pusat pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3.

Forum Posko Ijo, sebuah wadah pegiat lingkungan lintas organisasi di provinsi tersebut menggelar protes melalui aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jawa Timur di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Kamis (7/1).

Aksi unjuk rasa dilakukan para aktivis dengan aksi teatrikal. Mereka mengenakan mantel, kaca mata, dan masker pelindung, serta mengangkat poster-poster protes berukuran besar. Melengkapi aksi teatrikal mereka, para aktivis tersebut juga membawa drum-drum besar berlabel peringatan limbah berbahaya.

Mewakili rekan-rekannya, pegiat lingkungan Prigi Arisandi mengatakan, aksi protes dilakukan sebagai desakan para Pemprov Jawa Timur untuk mengambil langkah terkait persoalan ini.

Mengutip data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Timur, Prigi menggambarkan, industri di Jawa Timur menghasilkan rata-rata 2 juta ton limbah B3 setiap bulan.  Sebesar 60 persen dari jumlah tersebut berasal dari Kabupaten Gresik. Sisanya dari Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya serta daerah lainnya.

Berdasarkan kebijakan yang berlaku selama ini, limbah B3 tersebut dikirim ke pengolahan limbah B3 di Cileungsi, Kabupaten Bogor. “Tapi pada praktiknya banyak yang nakal, perusahaan angkutan limbah banyak membuang di sembarang tempat. Ada juga oknum-oknum pemerintahan dan aparat keamanan dan perusahaan juga banyak bermain mata,” kata Prigi.    

Ia mencontohkan, limbah B3 terindikasi telah berdampak sosial di kawasan industri Gunung Gangsir (Pasuruan), Ngoro (Mojokerto) dan Lamongan.  Menurut dia, di kawasan-kawasan tersebut, banyak warga terutama anak-anak terkena gangguan syaraf. “Kita ukur darah mereka pb (timbal)-nya di atas 10 mikrogram per milliliter, di atas stadar WHO,” kata Prigi.

Prigi menekankan, pembangunan pusat pengelolaan limbah B3 di Jawa Timur tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selama ini, seolah terjadi tarik-ulur karena banyak pihak yang mengambil keuntungan dari limbah B3.

Ia menggambarkan, untuk mengirim dan mengolah 1 meter kubik limbah B3 di Kabupaten Bogor, biayanya Rp 4 juta. Dengan asumsi tersebut, uang yang berputar dalam jasa tersebut di Jawa Timur nilainya triliunan rupiah.

Kepala BLH Jawa Timur Bambang Sardono sepakat, industri di Jawa Timur saat ini sangat membutuhkan pengolahan limba B3. Karena biayanya sangat besar, menurut Bambang, ada beberapa opsi yang sedang dipertimbangkan untuk membangun fasilitas tersebut.  

“Tahun 2016 ini kita anggarkan untuk lahannya, diperkirakan di daerah Mojkerto. Tapi kita belum bisa menentukan pasti titiknya, karena kita mau paparan dulu di Kementerian. Selama limbah B3 kan dibawa ke Bogor. Dunia usaha juga menjerit, kok untuk membuang limbah aja mahal,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement