REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setara Institute mengapresiasi rencana penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu sebagai salah satu prioritas kerja kabinet. Namun penyelesaian ini tetap harus dalam kerangka dan mekanisme yang akuntabel berdasarkan undang-undang (UU) dan berkeadilan.
Menurut dia, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Kejaksaan Agung atas perintah Presiden yang ingin menuntaskan kasus masa lalu keluar dari jalur yang semestinya. "Pilihan langkah hanya dengan penyesalan atas suatu peristiwa masa lalu, jelas tidak menunjukkan kesungguhan penyelesaian yang semestinya," ujar Ketua Setara Institute Hendardi, Rabu (6/1).
Presiden harus memastikan seluruh kasus masa lalu yang terjadi sebelum tahun 2000 diungkap kebenarannya. Kebenaran ini akan menjadi dasar pernyataan penyesalan, rekonsiliasi, dan reparasi bagi korban.
Pengungkapan kebenaran adalah prasyarat dari semua langkah yang akan ditempuh. Presiden juga perlu memastikan bahwa tidak semua kasus pelanggaran HAM diperlakukan sama. "Kasus penculikan paksa adalah yang paling lengkap untuk diselesaikan melalui peradilan HAM, apalagi DPR sudah merekomendasikan agar dibentuk pengadilan HAM," kata Hendardi.
Sementara untuk kasus Wamena-Wasior yang terjadi 2003-2004 perintah UU adalah harus diadili melalui peradilan HAM, karena terjadi setelah UU Nomor 26 Tahun 2000 diterbitkan. Generalisasi atas semua kasus HAM menunjukkan adanya maksud tertentu untuk menebalkan impunitas bagi para pelaku, meskipun alat bukti mencukupi untuk digelarnya sebuah peradilan. Dia mengatakan daripada kehendak Presiden dibonsai dengan kinerja yang tidak sesuai jalur, sebaiknya Presiden segera membentuk Komite Kepresidenan untuk penyelesaian pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan yang dijanjikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dari komite inilah, Presiden akan memperoleh pilihan-pilihan yang berkeadilan.