REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian Dwi Andreas Santosa mengatakan, saat ini sudah saatnya pemerintah menambahkan stok beras nasional.
Pasalnya, sejak Desember 2015 sampai Maret 2016 diprediksi masih tetap paceklik dan jikalau ada panen maka jumlahnya tidak mencukupi.
"Sebenarnya, istilah menambahkan stok bisa dari dalam negeri dengan peningkatan panen atau dari luar negeri dengan impor," ujar Dwi kepada Republika, Rabu (6/1).
Dwi mengatakan, pemerintah perlu waspada dalam mengambil keputusan untuk menambah stok beras nasional. Karena, jika pemerintah terlambat memutuskan sesuatu maka risikonya tinggi. Apalagi, harga beras saat ini sudah mencapai rekor tertinggi dan kencenderungannya selalu naik.
Dwi mencontohkan, harga beras premium pada awal 2016 sudah mencapai Rp. 10.700 per kilogram. Padahal, pada awal 2015 lalu harga beras hanya berkisar di level Rp. 9000 per kilogram.
Sementara itu, menurut Dwi stok beras saat ini sudah tipis dan impor dari Vietnam serta Thailand diprediksi masih belum bisa mencukupi kebutuhan stok nasional.
Dwi mengatakan, penambahan stok menjadi relevan karena ketika harga beras naik yang dirugikan bukan hanya konsumen, tapi juga petani kecil.
"Saat ini petani gak pegang gabah maupun beras sehingga mereka juga susah," kata Dwi.
Dwi menyambut baik rencana pemerintah untuk melakukan diversifikasi impor beras dari Pakistan dan India. Hal ini merupakan pembelajaran dari kejadian sebelumnya yakni pemerintah terlambat untuk memutuskan impor, sehingga beras dari Vietnam dan Thailand sebagian besar sudah diborong oleh Filipina. Ini menyebabkan stok beras internasional menipis.
Namun, menurut Dwi, pemerintah juga harus jeli menghitung stok beras yang ada di India dan Pakistan. Pasalnya, saat ini India juga sedang mengalami kesulitan stok beras sehingga harus impor.