Selasa 05 Jan 2016 22:00 WIB

Masalah yang Dihadapi Insinyur Indonesia Jelang MEA

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yudha Manggala P Putra
Sejumlah mahasiswa membentuk formasi tulisan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) di Lapangan Politeknik Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya, Jawa Timur, Jumat (18/12).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Sejumlah mahasiswa membentuk formasi tulisan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) di Lapangan Politeknik Universitas Surabaya (Ubaya), Surabaya, Jawa Timur, Jumat (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Persatuan Insinyur Indonesia (Sekjen PII) Danang Parikesit berpendapat, daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi para insinyur Indonesia jelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kompetensi yang dimiliki juga menjadi salah satu kendalanya.

“Jadi kalau tenaga ahli keinsinyuran persoalannya bukan pada siap tidaknya insinyur Indonesia,” ungkap Danang kepada Republika, Selasa (5/1).

Sejauh ini, Undang-undang (UU) insinyur mengamanatkan masalah sertifikasi kompetensi sebagai syarat untuk bisa masuk ke dalam persaingan. Namun, dia mengaku, proses sertifikasi kompetensi profesi insinyur di PII masih belum cukup masal memproses para insinyur Indonesia.

Karena kondisi demikian, Danang menyatakan kekhawatirannya akan adanya insinyur Vietnam dan Kamboja yang masuk Indonesia. Hal ini tentu mampu membuat para insinyur Indonesia tidak bisa bersaing apabila insinyur tidak tersertifikasi. Sementara mereka, dia melanjutkan, sudah tersertifikasi di negaranya.

Meski demikian, Danang juga menambahkan, pada hakikatnya Indonesia berpotensi masuk ke proyek-proyek di Malaysia, Singapura dan Thailand. Di negara-negara ini, lanjut dia, penghasilannya lebih besar dibanding Indonesia.

Dengan adanya kondisi tersebut, Danang menyarankan, pemerintah untuk memberikan insentif insinyur untuk bekerja di Indonesia dengan remunerasi cukup. Pasalnya, pasar infrastruktur dan industri memang cukup besar. Di samping itu, pemerintah juga perlu memperbaiki struktur industrinya.

“Sehingga antara jumlah pekerjaan dan jumlah pelaku usaha sebanding,” kata Danang. Sehingga, dia melanjutkan, bisa memperoleh keseimbangan pasar dan keberlanjutan usaha yang kemudian dapat menjamin remunerasi wajar atau cukup bagi insinyur Indonesia.

Sementara itu, berkenaan dengan kualitas insinyur Indonesia, Danang mengatakan, ini memang masih menjadi masalah. Hal ini karena masih terjadinya disparitas sangat besar.

“Misalnya lulusan perguruan tinggi ternama dan yang tidak terakreditasi dapat menyandang gelar ST (Sarjana Teknik) dan ini mendistorsi kualitas Insinyur Indonesia,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement