Senin 04 Jan 2016 18:18 WIB

Hujan Berhenti, Petani Terancam Gagal Tanam

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Winda Destiana Putri
Petani
Petani

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Curah hujan yang mendadak berhenti di wilayah Jateng selatan bagian barat, mengancam kelangsungan proses tanam petani di beberapa daerah.

Bukan hanya petani yang mengolah lahan kering, namun juga petani yang mengolah lahan sawah. ''Banyak petani yang saat ini kebingunan memulai musim tanam. Benih sudah disebar, tapi sawahnya kering-kerontang karena tidak ada air,'' jelas Ketua Kelompok Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Banyumas Dwiko Riyanto, Senin (4/1).

Dia menyebutkan, lahan sawah yang terancam kekeringan tersebar di beberapa lokasi yang baru mengolah lahannya sejak awal Desember 2015 lalu. Bukan hanya sawah tadah hujan yang kesulitan air, namun juga lahan sawah beririgasi teknis yang lokasinya cukup jauh dari sumber air.

Lokasi sawah yang terancam gagal tanam ini, antara lain di beberapa desa wilayah Kecamatan Sumpiuh, Tambak, Patikraja, Rawalo, Jatilawang, Purwojati Kabupaten Banyumas.

''Benih padi yang sudah disebar, tidak akan bisa ditanam bila lahannya tidak ada air,'' katanya.

Ketua Kelompok Tani Sri Lestasi Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas, Nurrochim, menyebutkan sebagian besar lahan sawah di desanya juga terancam gagal tanam bila hujan masih tidak turun sepekan lagi.

''Banyak petani sudah menyebar benih untuk persiapan musim tanam. Namun bila hujan tidak juga turun, petani tidak akan bisa menanam sehingga benih padi yang sudah disebar akan sia-sia,'' katanya.

Padahal, katab Nurrochim, untuk mempersiapkan masa tanam padi, petani sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Antara lain, untuk kebutuhan mengolah lahan dengan menggunakan traktor sewa, membeli bibit, dan membayar upah tenaga kerja untuk membuat pematang.

''Petani di desa kami sebenarnya hanya tinggal memulai musim tanam saja. Benih sudah disebar, dan lahan sudah diolah. Tapi kalau tidak ada air, maka petani desa kami bakal gagal tanam,'' jelasnya.

Dia menyebutkan, sebagian besar lahan sawah di desanya sebenarnya merupakan lahan sawah beririgasi teknis. Namun lokasi sawah yang berada paling akhir dari sumber irigasi, menyebabkan debit air mencapai areal sawah di desanya sudah tidak mencukupi lagi untuk kebutuhan lahan sawah yang mencapai lebih dari 200 hektar.

Dwiko menambahkan, kondisi tersebut juga dialami banyak petani di desa lain. Padahal pada  MT  I  2015-2016 ini sudah mundur tiga bulan akibat penyimpangan cuaca El Nino.

''Kalau sampai sepekan atau 10 hari lagi hujan masih belum turun, saya kira akan banyak petani terpaksa menebar benih baru lagi. Soalnya, benih yang saat ini sudah tidak mungkin ditanam karena usianya sudah terlalu tua,'' katanya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Kebumen, Machasin, juga mengemukakan hal serupa. Menurutnya, sekitar 40 persen lahan atau 15 ribu hektar lahan tadah hujan memang terancam kekeringan.

''Hujan yang mendadak berhenti ini memang mengancam kelangsungan program musim tanam I tahun 2015-2016 ini,'' jelasnya.

Dia menyebutkan, kalau pun ada petani yang sudah tanam di lahan tadah hujan, maka tanaman padinya baru berusia 20 hari. Demikian juga di lahan-lahan sawah, banyak benih padi yang sudah disebar petani sudah berusia 20-25 hari.

''Seharusnya, benih padi di demplot persemaian tersebut sudah harus ditanam pada usia paling lama 25 hari. Namun karena sawahnya masih kering, petani masih belum bisa memindahkan benih padi dari lahan persemaian ke lahan sawah,'' jelasnya.

Kepala Kelompok Teknisi Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Cilacap Teguh Wardoyo, mengakui hujan memang seperti mendadak berhenti sejak beberapa hari terakhir. Bahkan dia menyebutkan, kondisi ini masih akan berlangsung hingga beberapa hari ke depan.

''Kondisi ini terjadi karena ada dua pusat tekanan rendah di Samudra Hindia, yakni utara Australia yang cenderung menguat, dan barat daya Sumatra yang cenderung melemah. Adanya dua pusat tekanan rendah ini, menyebabkan awan hujan yang terbentuk tertarik ke pusat tekanan rendah tersebut,'' jelasnya.

Kondisi ini, kata dia, menyebabkan wilayah selatan Jawa kesulitan mengalami hujan. Sedangkan di wilayah utara Jawa, relatif masih ada hujan karena ada pertemuan angin tropis di atas Laut Jawa.

Dia juga menyebutkan, tidak adanya awan hujan menyebabkan suhu udara di wilayah Selatan Jawa mengalami peningkatan. Bila dalam kondisi normal suhu udara pada kisaran 31 derajat Celcius, kini menjadi 32-33 derajat Celcius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement