REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Persatuan Insinyur Indonesia (PII) secara terbuka mengakui bahwa Indonesia sampai sekarang kekurangan tenaga profesional insinyur untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai 2016.
"Kami akui, Indonesia masih kekurangan (insinyur), baik jumlah maupun 'skill' yang harus dimiliki untuk menghadapi MEA dan pasar global," kata Ketua Umum PII periode 2015-2018 Hermanto Dardak dalam Refleksi Akhir Tahun 2015 di Jakarta, Kamis.
Sampai saat ini, Indonesia hanya memiliki 750 ribu insinyur, tetapi tidak semua bekerja di bidangnya atau yang bekerja menjadi insinyur hanya 40 persen.
Padahal, katanya, permintaan insinyur mencapai sekitar 120 ribu pada lima tahun ke depan (2015-2019) untuk mendukung pembangunan infrastruktur dalam periode yang sama senilai Rp5.500 triliun, sehingga diperlukan tambahan insinyur baru 65 ribu per tahun.
"Namun baru terpenuhi sekitar 35 ribu saja per tahun atau kekurangan sekitar 30 ribuan insinyur per tahun," katanya.
Oleh karena itu, tegasnya, wajar jika Indonesia hanya punya 3.000 insinyur per satu juta penduduk, sedangkan di negara lain, seperti di ASEAN, jumlahnya sudah di atas 4.000 orang per satu juta penduduk.
Meski begitu, lanjut Hermanto, pihaknya yakin bahwa para insinyur Indonesia mampu bersaing dan berkompetisi secara global, asalkan diberi kepercayaan dan ruang tantangan yang sama.
"Dari 750 ribu insinyur itu, lebih dari 10 ribu sudah tersertifikasi 11 ribu dan yang memiliki sertifikat global sekitar 1.900 insinyur. Ini harus ditingkatkan dari waktu ke waktu," katanya.
Tidak hanya itu, tambah Hermanto, bersama pemerintah harus didorong sosialisasi agar minat generasi muda untuk tertarik pada keinsinyuran dengan cara memilih pendidikan teknik dan setelah lulus berprofesi sebagai insinyur.
"Sampai sekarang mahasiswa teknik dan pertanian di Indonesia hanya 15 persen dari total mahasiswa. Malaysia 24 persen, Vietnam 25 persen, Korea 33 persen dan Cina 38 persen," katanya.