Kamis 01 Jan 2015 06:07 WIB

Etnis Tionghoa dan Pusaran Elite Kekuasaan

Arif Supriyono/Wartawan Republika
Arif Supriyono/Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono/Wartawan Republika

Sebua media daring yang berbasis di Medan, Sumatra Utara memuat berita yang mengejutkan. Judul berita itu menyebutkan: William Warga Tionghoa Pertama Masuk Akmil.  

Dalam berita yang dimuat pada akhir Desember 2015 itu dikisahkan, William masuk menjadi taruna Akademi Militer (Akmil) Angkatan Darat pada pertengahan tahun lalu. Ia lolos seleksi bersama 16 taruna lainnya dari Sumatra bagian Utara di antara ribuan pelamar dari wilayah tersebut.

Saya terbelalak membaca judul itu. Bukan karena adanya keturunan Tionghoa atau Cina yang bisa masuk Akmil mengejutkan saya, akan tetapi kata ‘pertama’ dalam judul itu yang membuat saya sekaligus menyernyitkan dahi.

Apa iya selama ini tidak ada etnis Tionghoa/Cina yang masuk Akabri/Akmil? Benarkah perlu waktu 70 tahun negara ini untuk bisa menerima etnis Tionghoa di pendidikan elite militer. Saya pun lalu mencari informasi yang terkait dengan hal itu.

Ternyata data yang saya temukan memberikan bukti yang sebaliknya. Jauh sebelum itu telah banyak personel Tionghoa yang masuk Akmil/Akabri. Bahkan di antara mereka sudah ada beberapa yang menjadi perwira tinggi.

Ada Brigjen Teguh Santoso (Tan Tiong Hiem) yang lulusan Akmil 1963. Lalu Mayjen Iskandar Kamil (Liem Kay Ho) lulusan 1964 yang kini menjadi hakim agung. Masih ada pula Brigjen Teddy Yusuf (Him Tek Ji), Brigjen Paulus Pranoto, Laksma Indarto Iskandar, dan Kol Surya Margono, lulusan Akmil/Akabri 1987 yang kini menjadi Atase Pertahanan Kedutaan Besar Republlik Indonesia di Cina. Ada pula perwira tinggi Marsma Billy Tunas dan Mayjen dr Daniel Tjen yang masuk militer melalui jalur perwira karier.

Bukti banyaknya etnis Tionghoa masuk kawah candradimuka pendidikan militer elite di Indonesia itu penting untuk menepis anggapan kuatnya diskriminasi negara atas ras keturunan Cina tersebut. Selama ini banyak beredar kabar, bahwa institusi penting di negara ini yang sangat tidak mungkin dimasuki Tionghoa adalah militer, terutama yang melewati jenjang Akmil/Akabri.

Catatan di atas memperlihatkan, institusi penting dan utama negeri ini telah begitu ramah dan terbuka bagi siapa pun yang memang layak untuk masuk di dalamnya. Data-data tersebut belum termasuk petinggi militer lainnya yang merupakan keturunan etnis Tionghoa yang telah kawin-mawin dengan etnis lainnya di Indonesia. Tentu lebih banyak lagi bila kategori ini juga ikut dipaparkan.

Diskriminasi atas kelompok minoritas, secara faktual mungkin saja masih terjadi di masyarakat kita. Hal ini terutama bisa dijumpai dalam urusan pelayananan publik. Namun, sebenarnya skalanya kian mengecil. Kesadaran masyarakat untuk bisa menerima kehadiran etnis lain yang telah puluhan atau bahkan ratusan tahun tinggal di Indonesia kian membesar.

Ini juga tak lepas dari kebijakan pemerintah yang memberi angin segar bagi golongan etnis Tionghoa. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, hari Raya Imlek menjadi hari libur nasional. Konghucu pun termasuk dalam agama resmi negara, selain Islam, Katholik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha.

Jauh sebelum itu, pemerintah kita sebenarnya telah begitu terbuka dan mengakomodasi keberadaan etnis Cina atau Tionghoa. Ong Eng Die pernah menjadi deputi menteri keuangan pada 1947-1948 saat kabinet Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Ong bahkan sempat menjadi menteri keuangan saat Kabinet Ali Sastroamidjojo pada 1955.  

Ada juga Oei Tjoe Tat yang menjadi menteri negara pada Kabinet Dwikora. Ini juga dikenal dengan nama Kabinet 100 Menteri, lantaran saking banyaknya menteri dalam kabinet tersebut.

Pada masa Orde Baru, nama etnis Cina pertama yang menjadi menteri adalah Bob Hasan (The Kian Seng). Pengusaha kayu itu menjadi menteri perindustrian dan perdagangan pada era terakhir Presiden Soeharto.  

Selepas itu, ada Kwik Kian Gie (menko perekonomian) pada 1999-2000. Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah 77 tahun lalu itu kemudian bergeser menjadi menteri negara perencanaan pembangunan nasional dan kepala Bappenas pada 2001-2004.

Di luar itu, tentu kita juga mengenal Amir Syamsuddin. Pria bernama asli Tan Toan Sin ini merupakan menteri hukum dan hak  asasi manusia pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah itu ada Marie Elka Pangestu (menteri perdagangan lalu menteri pariwisata dan ekonomi kreatif) dan yang paling akhir adalah Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.

Masih ada sederetan nama etnis Tinghoa lain yang menduduki posisi penting di negeri ini. Banyak bupati dan wali kota yang berlatar belakang etnis Cina atau Tionghoa. Bahkan telah ada pula gubernur yang berasal dari etnis Tinghoa, yakni Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Deretan nama yang saya sebutkan hanyalah sebagian dari bukti telah terbukanya pintu mobilisasi sosial ke vertikal bagi etnis Tionghoa di negeri ini. Rasanya tak ada lagi hal yang perlu dikhawatirkan atau dicurigai atas sikap pemerintah terhadap etnis ini, juga atas etnis-etnis minoritas lainnya, meski bukan berarti sikap diskriminasi itu hilang sama sekali.

Kalaupun ada tindakan atau sikap diskriminasi atas kelompok etnis tertentu, mungkin itu hanya lantaran dangkalnya pemahaman aparat atau birokrasi dalam menerjemahkan esensi nasionalisme di negeri ini. Pemahaman seseorang tentang suatu nilai memang tak akan bisa seragam dan berjalan serentak. Apa pun perlu waktu untuk bisa menyamakan antara pemhaman satu orang dengan orang lainnya.

Dengan pemaparan di atas, pendek kata, praktis tak ada lagi tembok beton yang menghalangi satu kelompok atau etnis di Indonesia untuk berkiprah di segala bidang kehidupan. Belum tentu hal ini bisa terjadi di beberapa negara lain.

Di Thailand adalah salah satu contohnya. Meski di kawasan Selatan negeri gajah putih itu banyak provinsi yang meyoritas penduduknya memeluk Islam, namun jabatan gubernur di kawasan tersebut tetap diambilkan dari mereka yang bukan Muslim. Kelompok Muslim selama ini hanya mendapat jatah sebagai wakil gubernur.

Di negara kita semua posisi penting kian terbuka untuk segala etnis yang ada. Bagi etnis Tionghoa, posisi yang selama ini belum bisa dicapai adalah menjadi presiden atau wakil presiden. Saya pun tak tahu pasti, apakah warga kita bisa menerima jika dipimpin presiden atau wakil presiden dari etnis Tionghoa?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement