REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah anak sebagai pelaku kekerasan (bullying) di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 menjadi 79 kasus di 2015. Anak sebagai pelaku tawuran juga mengalami kenaikan dari 46 kasus di 2014 menjadi 103 kasus di 2015.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, data naiknya jumlah anak sebagai pelaku kekerasan di sekolah menunjukkan adanya faktor lingkungan yang tidak kondusif bagi perlindungan anak.
"Faktor keteladanan yang kurang, serta internalisasi semangat tanggung jawab dan kewajiban anak belum optimal," ujarnya di kantor KPAI, Rabu (30/12).
KPAI menilai ada pilar penyelenggara perlindungan anak yang belum berfungsi secara benar, yakni pilar masyarakat dan pemerintah. Maraknya tayangan yang mengeksploitasi kekerasan melahirkan sifat permisif terhadap kekerasan pada diri anak, dan meneladankan penyelesaian masalah dengan cara kekerasan.
Menurut dia, pelaku usaha media penyiaran harus menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi anak-anak.
"Di samping aspek profit ekonomis, pelaku usaha perlu memperhatikan aspek etis agar tidak mengorbankan anak-anak dengan tayangan sampah hanya karena rupiah," kata Ni'am.
Situs pornografi dan game online juga ditengarai sebagai penyebab naiknnya anak sebagai pelaku kekerasan. Pemerintah harus hadir secara tegas untuk mencegah paparan tayangan dan permainan kekerasan semata untuk melindungi anak. Sebab anak cenderung mengimitasi. Mereka dengan mudah belajar dari tayangan dan permainan yang mengajarkan kekerasan, pornografi dan hal negatif lainnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan anggaran pendidikan cukup besar harus inovatif. Salah satunya dengan melakukan intervensi dalam penyediaan permainan anak yang edukatif, disediakan secara massal, dan mudah dijangkau anak-anak.