REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kalangan pengamat lingkungan menyatakan, pemerintah harus mengakomodasi kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam menerapkan kebijakan restorasi lahan gambut agar tidak menimbulkan persoalan baru seperti kemiskinan serta persoalan sosial lainnya.
"Saat ini, ada sekitar 40 juta hingga 60 juta jiwa yang hidup tergantung pada industri berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit yang memanfaatkan gambut sebagai lahan produksi," kata Pengamat Kehutanan dan Lingkungan Ricky Avenzora, di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pemerintah harus mempunyai ketegasan sehingga kekeliruan masa lalu tidak terulang, oleh karena itu kebijakan restorasi gambut harus mempunyai keseimbangan antara lingkungan dan pembangunan agar tidak mematikan industri yang sudah ada.
Dalam keputusan terkait kasus kebakaran hutan belum lama ini misalnya, dia mengungkapkan, ada yang tidak adil, yakni semua kesalahan hanya ditimpakan kepada korporasi sebagai pesakitan, padahal pemerintah punya kontribusi dalam persoalan tersebut.
Ricky menyatakan, adanya UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memperbolehkan masyarakat membakar dengan luasan lahan 2 ha, selain itu pemerintah gagal dalam mengawasi kawasan konservasi sejak tahun 1980-an yang kini banyak dirambah.
Padahal,dalam kasus kebakaran hutan, data Forrest Global Watch menunjukkan 56 persen kebakaran terjadi di luar kawasan hutan. Tapi sayangnya, menurut dia, pemerintah membiarkan hampir 1 tahun isu berjalan menghantam industri unggulan seperti kelapa sawit Indonesia seolah-olah mereka pelakunya.
Ricky yang juga Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB menyayangkan sikap pemerintah lebih terbawa arus suara-suara sumbang LSM yang menginginkan agar industri untuk menyetop kegiatannya.
"Hal ini mengakibatkan pengusaha berpikir adanya konspirasi untuk mematikan industri unggulan karena faktor persaingan dengan negara lain. Jika dibiarkan, kesalahan seperti industri plywood yang berjaya tahun 1990-an, namun kolaps hanya dalam waktu 5 tahun bakal berulang," ujarnya.