Rabu 23 Dec 2015 16:06 WIB

Indonesia, India, Pakistan, Cina Jadikan Bahasa Sebagai Fondasi Nasionalisme

Rep: Dyah ratna meta novia/ Red: Winda Destiana Putri
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . (ilustrasi)
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Bahasa Prof Mahsun mengatakan, dipilihnya bahasa Indonesia sebagai fondasi dalam membangun negara bangsa Indonesia terlihat dari kesadaran akan pengakuan kesatuan tanah air yaitu tanah air Indonesia.

Meskipun terdiri tidak kurang dari tujuh belas ribu pulau dan  kesatuaan bangsa yaitu bangsa Indonesia yang terdiri dari 659 suku bangsa.

Suku bangsa yang berpencar-pencar yang mendiami pulau yang tujuh belasan ribu tersebut diyakini mampu direkatkan dengan sebuah bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.

"Artinya, bahasa menjadi benang pengikat dalam membangun nasionalisme Indonesia," katanya dalam peluncuran bukunya berjudul Indonesia dalam Perspektif Politik Kebahasaan, Selasa malam (22/12).

Dalam buku Indonesia dalam Perspektif Politik Kebahasaan,  dijelaskan tentang  India, Pakistan, Cina sebagai contoh negara bangsa yang menjadikan bahasa sebagai pondasi dalam membangun semangat kebangsaan atau nasionalisme.

India dan Pakistan berusaha membedakan diri satu sama lain dengan menyatakan bahwa penutur bahasa India dan Pakistan merupakan penutur bahasa yang berbeda.

Padahal, terang dia, secara sosiolinguistik di antara mereka jika terjadi komunikasi satu sama lain dengan menggunakan bahasa masing-masing masih terdapat pemahaman timbal balik. Namun karena pada tahun 1947 mereka berpisah menjadi negara bangsa yang berbeda, bahasa yang sama dibedakan demi identitas yang berbeda.

India memberi nama bahasanya dengan nama bahasa Hindi, sedangkan Pakistan memberi nama bahasanya dengan nama bahasa Urdu. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka berusaha membedakan diri satu sama lain dalam sistem ekspresi tulis.

Apabila India dengan bahasa Hindinya menggunakan aksara Dewanagari (Sanskerta), maka Pakistan dengan bahasa Urdunya menggunakan aksara Arab. Kasus sebaliknya terjadi pada Republik Rakyat Cina, yang memiliki 56 bahasa.

Apabila penutur di provinsi Guandong berbicara dengan penutur di provinsi Nanjing, Yunan dengan menggunakan bahasa masing-masing maka di antara mereka tidak terdapat pemahaman timbal balik. Sebab masing-masing merupakan penutur bahasa yang berbeda.

Namun, demi sebuah negara bangsa yang besar, bersatu, dan berdaulat semua bahasa itu disatukan dalam satu sistem bahasa tulis, yaitu dengan menggunakan aksara Han. Jadi, baik bahasa di provinsi Guandong, Nanjing, maupun Yunan dan semua bahasa lain yang ada di wilayah negara tersebut tunduk pada satu sistem bahasa tulis, yaitu menggunakan aksara Han.

"Yang berbeda disamakan demi identitas satu negara bangsa yang utuh, kokoh, dan berdaulat," ujar Mahsun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement