Selasa 22 Dec 2015 18:50 WIB

Ombudsman Jatim Ajak Warga Laporkan Pungli

Rep: Andi Nurroni/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pungli (ilustrasi)
Foto: [ist]
Pungli (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Praktik pungutan liar atau pungli diyakini masih banyak dilakukan para oknum penyelenggara nergara terhadap masyarakat. Sayang, kecurangan tersebut masih jarang dilaporkan masyarakat.

Kepala Ombudsman Indonesia Perwakilan Jawa Timur Agus Widiyarta menyampaikan, sepanjang 2015, pihaknya hanya mencatat 18 laporan kasus permintaan uang, barang dan jasa yang dilakukan oknum penyelenggara negara.  Angka tersebut, menurut Agus, hanya 5 persen dari total laporan yang mereka terima.

Padahal, menurut Agus, hasil supervisi pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman menemukan, praktik pungli marak terjadi di berbagai unit kerja di lembaga pemerintah. Dari sejumlah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) daerah yang menjadi sampel, Agus menggambarkan, pungli setidaknya ditemukan di Kabupaten Bondowoso, Lamongan dan Magetan.  

“Kalau kasus pungli ini dilaporkan, sepertinya memang akan menjadi pelanggaran nomor satu,” ujar Agus saat merilis kinerja Ombudsman Perwakilan Jawa Timur di kantor mereka di Surabaya, Selasa (22/12).  

Menurut Agus, praktik pungli terjadi karena adanya kesepakatan kedua belah pihak, antara pemberi layanan dan penerima layanan, untuk melanggar aturan. Menurut Agus, banyak warga masyarakat yang mengaku terpaksa memberikan suap kepada penyelenggara negara dengan berbagai alasan.

Untuk menghindari pungli, menurut Agus, unit pelayanan harus mempunyai standar pelayanan dan prosedur pelayanan yang dipasang secara terbuka. Dari sisi masyarakat, menurut Agus, harus ada keberanian untuk membongkar praktik pelanggaran tersebut sebagai efek jera.

Hanya saja, menurut Agus, masyarakat harus bisa membuktikan jika hendak melaporkan kasus pungli yang dialami. “Masyarakat bisa merekam pelangaran yang terjadi, atau setidaknya, kalau ada transaksi, harus meminta tanda terima. Dan identitas pelapor, bisa kami rahasiakan,” kata Agus.

Agus menambahkan, jika penyelenggara negara terbukti melakukan pungli, sanksi yang diberlakukan sangat berat. Sanksi, kata dia, mulai dari mutasi, pemberhentian, hingga hukuman pidana.

Asisten Ombudsman Indonesia Perwakilan Jawa Timur Mufliful Hadi melaporkan, pada 2015, pihaknya menerima 343 pengaduana atau sedikit lebih banyak dari tahun 2014, sebanyak 336 pengaduan. Dari jumlah tersebut, kata dia, berdasarkan jenis dugaan malaadministrasi, paling banyak adalah kasus ‘penundaan berlarut’, yakni 92 laporan atau 27 persen.

Selanjutnya, Hadi merinci, kasus terbanyak selanjutnya adalah ‘tidak memberikan pelayanan’ (23 persen), ‘penyimpangan prosedur’ (17 persen), ‘penyalahgunaan wewenang’ (14 persen), ‘tidak kompeten’ (10 persen) dan ‘permintaan uang, barang dan jasa (5 persen).  Sementara laporan praktik ‘diskriminasi, ‘tindakan tidak patut’, dan ‘konflik kepentingan, menurut hadi, masing-masing tercatat 1 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement