Sabtu 19 Dec 2015 11:09 WIB

Bela Negara tak Hanya Diselenggarakan Kemenhan dan TNI

   Kader bela negara mengikuti upacara pembukaan pelatihan bela negara di Badiklat KeMenhan, Jakarta, Kamis (22/10).  (Republika/Wihdan)
Kader bela negara mengikuti upacara pembukaan pelatihan bela negara di Badiklat KeMenhan, Jakarta, Kamis (22/10). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Program bela negara mestinya tak hanya diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan dan TNI saja. Tetapi juga melibatkan instansi-instansi terkait, sesuai amanat UU 3/2002 pasal 7 ayat 3.

"Program bela negara sekarang ini tidak harus dilakukan dengan cara-cara militer saja, dan penyelenggaranya tidak hanya Kemhan dan TNI. Materi pendidikan bela negara juga tidak hanya berbaris dan menembak," ujar mantan kepala Staf Umum (kasum) TNI Letnan Jenderal (Purn) J Suryo Prabowo dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (19/12).

Menurut Suryo, perang semesta itu bukan berarti TNI bertempur habis-habisan bersama dengan rakyat, ketika tentara agresor telah menduduki wilayah NKRI. Namun, pelibatan rakyat dalam perang semesta juga tidak harus menjadikan mereka sebagai kekuatan kombatan bersenjata perang.

Suryo menjelaskan, perang bukan hanya pertempuran bersenjata dan bukan hanya terjadi ketika suatu negara menghadapi invasi dari tentara agresor, , melainkan bisa terjadi dengan cara-cara militer dan non-militer. "Bagi Indonesia, seharusnya perang dipahami sebagai konflik apa saja yang mengganggu keutuhan wilayah, dan kedaulatan NKRI, serta integritas Bangsa Indonesia," papar mantan pangdam Jaya ini.

Terlebih, sejarah Indonesia mencatat peperangan yang pernah terjadi di nusantara ini seluruhnya berasal dari 'dalam'. Bukan 'dari luar ke dalam'. Agresi militer Belanda I dan II, ungkapnya, dilakukan di dalam wilayah NKRI. Begitu pula pemberontakan bersenjata, atau pun gerakan separatis bersenjata, seluruhnya 'berasal dari dalam'. "Dan, pemberontakan atau gerakan sparatis yang pernah terjadi itu seluruhnya adalah proxy-war karena dibantu AS-Inggris, guna menguntungkan kepentingannya," ungkap Suryo.

Mantan pangdam Bukit Barisan ini pun mengingatkan, tanpa bertempur saja Indonesia pernah kalah perang. Indonesia kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan karena kalah di Mahkamah Internasional. Indonesia juga kalah dalam perang ekonomi dan budaya yang berakibat pada terusiknya kedaulatan ekonomi dan pangan serta semakin pudarnya budaya kita. Bahkan, Indonesia juga kalah dalam perang Ideologi, sehingga Pancasila sudah banyak dilupakan.

"Karenanya, perang seperti itu harusnya dihadapi secara semesta dengan melibatkan segenap Rakyat Indonesia sesuai profesinya masing-masing. Catat, sesuai profesinya. Sebagai penjuru dalam perang semesta seperti ini tentunya bukan Kemhan saja, tetapi instansi-instansi terkait, sesuai amanat UU 3/2002 pasal 7 ayat 3," kata peraih Adhi Makayasa 1986 ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement