REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan gratis di sejumlah daerah menyebabkan guru menjadi lebih apatis. Hal ini karena para guru di daerah terpencil ini sulit mengendalikan siswanya.
"Terutama bagi siswa yang menganggap tidak ada hak guru untuk ikut campur terhadap mereka ihwal mau masuk sekolah atau tidaknya," kata Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), AE Priyono saat Seminar Nasional tentang Wajar 12 Tahun di Gedung A, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Selasa (15/12).
Hal ini diungkapkannya berdasarkan riset pendidikan gratis di Kabupaten Musi Banyuasin yang dimulai sejak 2002. Selain itu, Priyono juga mengungkapkan, kebijakan sekolah gratis juga mengakibatkan ketidakpedulian dan kurangnya tanggungjawab para orangtua. Orangtua tidak peduli anaknya berkeinginan sekolah atau tidak.
Bahkan, ini juga menimbulkan perubahan drastis terhadap sikap peserta didik. Mereka cenderung lebih nakal, malas belajar dan bolos sekolah. Hal ini terutama terjadi di lingkungan sekolah swasta dan sekolah yang berada di pelosok maupun di dusun. Karena kondisi ini, banyak guru yang tidak berdaya dalam menghadapi perilaku peserta didiknya.
Pada dasarnya, Priyono menegaskan penyebab pendidikan gratis ini memang tidak terlalu berdampak langsung. Namun hal ini tetap saja bahwa ketidakpedulian orangtua menyebakan lemahnya kontrol atas kelangsungan pendidikan anak-anak mereka. Kondisi ini juga berpengaruh pada sikap peserta didik yang semaunya.
Karena kondisi itu, Priyono mengatakan, pemerintah daerah perlu memiliki strategi sehingga wajib belajar 12 tahun bisa terlaksana dengan baik. Penerapannya juga tidak hanya ihwal masalah angka tetapi kualitas peserta pendidik. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu terus meningkatkan kualitas para pendidik. Pasalnya, mereka menjadi kunci kualitas peserta didiknya,
Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan telah melaksanakan program pendidikan gratis di semua tingkat sekolah, yakni dari TK hingga perguruan tinggi. Program ini diperuntukkan baik swasta maupun negeri sejak 2002. Program ini merupakan salah satu cara melangsungkan Wajib Belajar (Wajar) 12 Tahun meski belum ada payung hukum hingga saat ini.
(Baca juga: Indonesia Sangat Memerlukan Guru Hebat)