Selasa 15 Dec 2015 09:19 WIB

Mensos: Nikah 'Dini' Lahirkan Kemiskinan Struktural Baru

Rep: C39/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pernikahan  (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pernikahan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, nasib perempuan di Indonesia masih memprihatinkan. Hal ini berdasarkan tingginya angka gugat cerai yang disertai tindak kekerasan terhadap korban yang sebagian besar adalah anak-anak.

“Semua pihak harus melakukan penguatan agar terjadi penurunan angka gugat cerai, karena yang menjadi korban dipastikan anak-anak mereka, ” kata Khofifah di Jakarta, Senin (14/12/) kemarin.

Khofifah mengatakan,  terdapat berbagai permasalahan yang harus diakui di Indonesia saat ini, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan anak dan perempuan itu yang hulunya dari pernikahan dini dan pernikahan yang tidak tercatatkan, serta teradministrasikan.

“Banyak pihak kritis dengan permasalahan hilir, seperti KDRT dan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Tetapi hulunya, yaitu pernikahan dini tidak mendapatkan perhatian serius, ” Ujarnya.

Pernikahan dini tidak hanya usia pasangan saat memulai pernikahan, tapi termasuk juga usia pernikahan yang hanya bertahan di bawah lima tahun yang rentan terhadap berbagai masalah KDRT, serta kekerasan terhadap anak dan perempuan. “Memutuskan pernikahan itu harus benar-benar matang, karena ada risiko dan konsekuensi yang harus ditanggung oleh kedua pasangan, khususnya setelah anak-anak lahir,” tandasnya.

Menurut Khofifah, jika dilihat dari segi persentasi masalah, setidaknya lebih 75 persen pernikahan yang tidak dicatatkan dan teradministrasikan itu memiliki risiko dan kerentanan terhadap anak-anak dan pernikahan itu sendiri. “Untuk mendapatkan pernikahan sejahtera, jadi harus menghindari pernikahan dini dan tidak tercacatkan. Sebab, UU No 1 tahun 1974 menyebut umur perkawian perempuan 16 tahun mesti direvisi seiring regulasi yang ada, ” ucapnya.

Salah satu regulasi tersebut terdapat di dunia pendidikan, yaitu wajib belajar12 tahun. Hal itu menunjukkan, berarti pernikahan bisa dilaksanakan setelah lulus tingkat SMA dan perempuan berumur di atas 18 tahun. “Regulasi terbaru di bidang pendidikan, yaitu anak usia belajar bisa mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) mulai usia 6 – 21 tahun, ” ujarnya.

Bahkan, kata dia,  jika terjadi perceraian dan umur perempuan masih mengikuti UU perkawinan di atas, maka sebenarnya ada ruang untuk masalah perdata hingga usia 21 tahun. “Memang merevisi UU Perkawinan di atas perlu waktu lama. Tapi dipastikan pernikahan tidak dicatatkan bisa melahirkan kemiskinan struktural baru dan tidak mendapatkan intervensi program KKS, KIP, KIS, serta PKH, ” katanya.

Salah satu solusi bisa melalui Peraturan Menteri (Permen) Menteri Agama (Menag) agar setiap warga wajib mencatatkaan pernikahan, sekaligus ada upaya pendewasaan usia pernikhan dengan usia minimal 18 tahun. “Saya kira dengan Permen Menag itu bisa disampaikan pesan agar warga negara wajib mencatatkan pernikahan dan minimal usia 18 tahun, sehingga tidak melahirkan kemiskinan terstruktur, ” kata kader Paratai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement