REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK -- Setelah persidangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) Setya Novanto menjadi sumber kericuhan di tengah publik, Kejaksaan Agung didorong untuk mengungkap kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo terkait perpanjangan kontrak PT Freeport.
"Kalau sudah diambil kejaksaan maka tinggal didorong untuk upaya pengungkapan tuntasnya. Kalau sudah ditemukan dua alat bukti tinggal ditingkatkan ke penyidikan dan diteruskan ke pengadilan," terang pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi, Rabu (9/12).
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung lebih dulu menangani kasus Setya Novanto. Namun, atas desakan beberapa pihak, kasus ini pun bergulir ke ranah MKD DPR RI. Persidangan pun dilakukan secara tertutup sehingga bisa menimbulkan pertanyaan besar di benak publik.
"Ini menimbulkan spekulasi di masyaralat. Ini bukan hal positif terhadap lembaga DPR. Justru ini menimbulkan penilaian tidak bagus," kata Akhiar.
Seharusnya, kata dia, harus dilihat azas kemanfaatan dalam menentukan jalannya persidangan SN. Artinya, kata Salmi, mana yang lebih memberikan manfaat banyak apakah dilakukan terbuka atau tertutup. Lantaran kasus yang menjerat SN bukanlah soal kode etik dan menjurus ke ranah pidana.
"Kecuali ini delik susila baru boleh tertutup. Kalau dua sidangnya terdahulu saja dilakukan terbuka, kenapa ini malah tertutup. Sangat disayangkanlah ini dan bukan hal positif," jelas Akhiar.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Andi Aulia Rahman meminta agar pemerintah membawa kasus SN ke ranah hukum. Hal itu dilakukan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.
"Jangan hanya mengadukan ke MKD saja," tegasnya.