Selasa 08 Dec 2015 05:30 WIB

Salut untuk Sigit Priadi

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Saat ini masyarakat sedang ramai membicarakan kasus Freeport. Dalam forum resmi pun kasus ‘papa minta saham’ Freeport yang melibatkan Ketua DPR, Setya Novanto, juga tengah digelar di lembaga legislatif tersebut.

Kasus kontroversial yang berkaitan dengan perlu atau tidaknya kontrak karya pemerintah dengan PT Freeport diperpanjang itu memang sedang menjadi sorotan. Lantaran melibatkan pelbagai pihak dan pejabat penting negeri ini, banyak yang menduga persoalan ini tak begitu mudah untuk segera diselesaikan.

Saya pun tak ingin membahas soal tersebut. Justru saya ingin memetik sisi positif atau keteladan dari seseorang pejabat negeri ini. Ini karena keteladanan sekarang ini menjadi barang langka yang kian sullit ditemukan di negeri ini. Tulisan saya ini sekaligus sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan keteladanan pejabat  yang tak begitu populer tersebut.

Pekan lalu --tepat tanggal 1 Desember 2015-- Dirjen Pajak Kemenkeu, Sigit Priadi Pramudito, tiba-tiba mengajukan surat pengunduran diri. Dalih utama yang diajukan sang dirjen adalah ketidakmampuan direktorat jenderalnya untuk untuk memenuhi target penerimaan pajak pemerintah.

Sejak menjabat dirjen pada Januari 2015, usai terpilih dari hasil lelang jabatan, di pundak Sigit Priadi dan jajarannya telah diletakkan target pajak 2015 sebesar Rp 1.294 triliun. Sampai dengan pengunduran diri Sigit, perolehan pajak baru mencapai Rp 865 triliun. Masih ada sisa sekitar Rp 429 triliun lagi yang harus didapat, dalam sisa waktu sebulan, untuk memenuhi target itu.

Rupanya Sigit sudah bisa ‘berhitung’. Tak mungkin dalam waktu sebulan jajarannya bisa meraup pajak hingga sekitar Rp 429 triliun. Dia memperkirakan, sampai akhir tahun paling banter Ditjen Pajak hanya akan mempu memenuhi 80-82 persen dari target pajak 2015.

Sebagai bentuk integritas pribadi, karena tak memenuhi target yang telah ditetapkan, dia memilih untuk meninggalkan jabatan yang konon bergaji sekitar Rp 100 juta itu. Dalam pandangan dia, itulah konsekuensi yang harus dipilih dalam mengemban tugas penting.

Sikap yang ditunjukkan Sigit adalah bentuk keteladanan nyata. Dia mengambil tanggung jawab itu tanpa harus menyalahkan pihak lain yang bisa jadi ikut berperan dalam kektidakberhasilan Ditjen Pajak mengejar target. Sigit bukanlah pejabat pertama di Era Reformasi yang mengundurkan diri karena sedang berkasus.

Ada beberapa nama yang bisa kita sebut di sini. Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alifian Mallarangeng, serta Menteri Energi dan Sumber daya Mineral, Jero Wacik, adalah dua nama pejabat penting yang mundur karena terkena masalah. Tentu alasan kedua menteri ini mundur sangatlah berbeda dengan Sigit.

Dua menteri itu menjadi tersangka kasus korupsi yang membelitnya. Itu pula yang membuat keduanya harus meninggalkan jabatannya. Sedangkan Sigit, sama sekali tak ada indikasi melakukan korupsi, paling tidak sampai dia mengundurkan diri.

Karena itu, mundurnya dua menteri tersebut dan Sigit tentu punya bobot atau nilai yang berbeda. Orang akan lebih gampang menilai, bahwa Sigit memang memiliki dedikasi dan integritas dalam menjalankan tugas.

Namun, ada yang membuat saya agak heran. Begitu Sigit mengajukan surat pengunduran diri, seketika Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, memberikan persetujuan. Ini artinya, menkeu memang merasa tak ada yang perlu dipertahankan dari keberadaan Sigit di Ditjen Pajak. Dalam bahasa pasar bisa dimaknai, Sigit memang tak mendapat dukungan dari menkeu.

Saya mencoba bertanya pada beberapa staf di Ditjen Pajak. Menurut mereka, Sigit sangat memahami besarnya beban atau target pajak yang dibebankan ke instansinya. Oleh sebab itu, Sigit sangat mendorong dan memberikan motivasi luar biasa pada semua jajaran di bawahnya.

Seorang karyawati yang juga kepala kantor pajak di wilayah Jakarta mengutarakan, bahwa kesalahan bukan terletak pada diri sang dirjen. Penetapan target pajak yang begitu besarlah yang menjadi salah satu sasaran kritik dia. Ia menambahkan, target itu memang terlalu ambisius.

Belum lagi bila dikaitkan dengan kondisi ekonomi saat ini yang kurang menggembirakan. Dalam situasi sekarang, teramat sulit untuk bisa memenuhi target pajak sebesar itu. Pendapat ini senada dengan suara para pengamat yang menyebutkan, salah satu kendala utama tak tercapainya target pajak adalah kondisi ekonomi yang tak kondusif.

Dengan kenyataan seperti itu,”Mundurnya Pak Sigit Priadi yang begitu perhatian pada anak buah serta senantiasa memberikan dorongan pada kami, merupakan suatu hal yang amat disayangkan. Kami sedih, apalagi beliau orangnya low profile, tidak neka-neka, dan sangat berbeda dengan pejabat-pejabat Ditjen Pajak sebelumnya,” ungkap karyawan tersebut.

Di balik kesedihan itu, tebersit pula pujian dari anak buahnya. Banyak karyawan Ditjen Pajak yang salut dan bangga atas sikap ksatria atasannya tersebut. Mereka merasa sikap Sigit merupakan contoh bagus dan penting dalam perjalanan sejarah birokrasi di negeri ini.

Semestinya sikap Sigit ini menjadi contoh dan memang seharusnya ditiru oleh para petinggi negeri ini bila tak berhasil dalam menjalankan tugas utama yang penting. Biasanya, pejabat kita tetap tidak peduli atas segala kritik serta caci-maki, sekalipun nyata-nyata tak berhasil dalam menjalankan tugas atau melakukan kesalahan mendasar.

Sikap Sigit adalah bentuk nyata seorang pejabat yang memegang prinsip akuntabilitas. Jangan sampai pejabat merasa bertanggung jawab tetapi hanya sekadar merekayasa kinerja sehingga seolah ‘berwajah moncer’.

Tradisi mundur karena gagal ini mungkin juga akan baik bila para petinggi di jajaran pemerintahan bisa meneladani, termasuk pejabat di Ditjen Pajak. Kami tentu berharap agar pelaksana tugas Dirjen Pajak, Ken Dwijugisteadi, bisa memberikan dedikasi, tanggung jawab, dan keteladanan serupa dengan pejabat sebelumnya.

Harus pula dihindari upaya menjadikan Ditjen Pajak dekat dengan kelompok politik tertentu. Kalau ini terjadi, maka akan kembalilah kita seperti pada zaman ‘purba’. Saat itu, instansi pajak menjadi salah satu sektor yang sering dijadikan bahan tawar-menawar politik antara pengusaha dan penguasa.

Sigit selama ini mampu memutus mata rantai kongkalikong itu. Semoga saja mata rantai berbau ini tak tersambung lagi. Semoga pula, mundurnya Sigit ini bukan karena dia menghindari kasus tertentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement