Jumat 04 Dec 2015 20:09 WIB

Sidang MKD Masih Dipenuhi Tarik Menarik Kepentingan Politik

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Bayu Hermawan
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (kiri) menghadiri sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/12).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (kiri) menghadiri sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik asal Universitas Airlangga, Haryadi menilai sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terkait kasus dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Ketua DPR, Setya Novanto, masih diwarnai tarik-menarik kepentingan politik sesaat.

Komitmen untuk menegakkan etika bagi anggota Dewan pun kembali dipertanyakan. Bahkan, Haryadi meragukan, MKD bakal bisa mengeluarkan putusan yang benar-benar objektif.

Hal ini lantaran masih begitu kentalnya tarik-menarik kepentingan politik sesaat di MKD. Belum lagi manuver-manuver yang dilakukan sejumlah anggota MKD 'menyelamatkan' Setya Novanto.

''Tarik-menarik kepentingan politik sesaat itu masih sangat terlihat jelas (dalam sidang MKD). Selama ini masih berlangsung, maka akan sulit untuk berharap ada putusan yang benar-benar objektif,'' ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/12).

(Baca: Golkar akan Ikuti MKD Soal Sanksi Setya Novanto)

Tarik-menarik kepentingan politik sesaat ini terlihat lewat berbagai perdebatan antara anggota MKD yang justru tidak substansial dan relevan dengan inti masalah atau tujuan dihadirkannya pelapor ataupun saksi.

Alhasil, perdebatan tersebut malah menutupi pembahasan masalah utama yang tengah dilakukan. Haryadi memberikan catatan, anggota MKD yang berasal dari Fraksi Golkar dan Gerindra kerap melakukan hal tersebut.

Belum lagi dengan komentar-komentar yang mereka keluarkan di media-media online. Kemudian, Haryadi pun mengkritik, MKD yang belum satu suara terkait prinsip-prinsip etika yang mengikat anggota Dewan.

''MKD sendiri tampak tidak satu tarikan nafas dalam mempersepsi prinsip-prinsip etik bagi anggota dewan. Sebenarnya prinsip itu sudah ada, tinggal dicocokan saja dengan kejadian yang ada. Jika melanggar ketentuan itu, berarti melanggar etik,'' ujar Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga itu.

Hal ini, ujar Haryadi, tidak terlepas dari komitmen yang ditunjukan MKD untuk menegakan etik bagi anggota dewan.

''Karena memang sepertinya tidak ada komitmen itu. Saat ini, etik sepertinya sudah menjadi instrumen politik,'' katanya.

(Baca juga: 'Setya Novanto Pasti Penuhi Panggilan MKD')

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement