REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI telah menggelar dua kali persidangan terkait kasus dugaan pelanggaran etika Ketua DPR, Setya Novanto.
Bahkan, sidang-sidang yang digelar MKD di Ruang Rapat MKD, Gedung Nusantara II DPR RI, itu disiarkan secara langsung oleh sejumlah stasiun televisi nasional.
Namun, berdasarkan apa yang diperlihatkan dari dua sidang tersebut, MKD justru dianggap tidak menampilkan aspek pendidikan politik.
Bahkan, apa yang didemonstrasikan oleh para wakil rakyat tersebut lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
''Kepentingan itu bukanlah atas dasar nilai, atau untuk sesuatu yang luhur, tapi kepentingannya lebih kepada kepentingan sesaat dan praktis. Ini yang dipertontonkan di hadapan publik,'' ujar pengamat politik asal Universitas Airlangga, Haryadi kepada Republika.co.id lewat sambungan telepon, Jumat (4/12).
Memang, dalam dua sidang itu, pertanyaan yang diajukan oleh anggota MKD terkadang keluar dari konteks dan substansi sidang etik itu sendiri.
Tidak hanya itu, para anggota MKD sendiri juga kerap berbeda pandangan diantara mereka sendiri, mulai dari hujan interupsi hingga perdebatan.
Haryadi mengungkapkan, jika hal ini terus dipertontonkan di depan publik, maka bukan tidak mungkin pandangan masyarakat terhadap institusi dewan malah menjadi buruk.
Semestinya, sidang MKD itu menjadi kesempatan untuk memberikan politik yang bagus kepada masyarakat luas. Untuk itu, Haryadi mengungkapkan, seharusnya pada awal sidang, para pimpinan MKD menegaskan dan menjelaskan prinsip etik yang ada di institusi dewan.
Penjelasan itu akan memberikan konteks dalam sidang tersebut, yang merupakan sidang etik bukanlah sidang pidana atau perdata.
Kemudian nantinya akan dilihat prinsip etik manakah yang diduga dilanggar oleh Setya Novanto terkait pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam usaha perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport itu.
''Cara itu kan sebenarnya cukup simple. Tapi kemudian malah dibuat rumit dan berbelit-belit. Orang-orang malah menjadi bingung, dan akhirnya tertawa-tawa saja, malah jadi seperti badut-badut, seperti pertunjukan badut,'' tutur Guru Besar Ilmu Politik