Kamis 03 Dec 2015 23:58 WIB

Dokter Unair: Penelitian Warsito Jangan Dimatikan

Rep: Andi Nurroni/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Penemu alat terapi kanker berbasis listrik statis, Warsito Purwo Taruno. (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Penemu alat terapi kanker berbasis listrik statis, Warsito Purwo Taruno. (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Keputusan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kesehatan melarang penggunaan alat terapi kanker temuan Warsito Purwo Taruno disesalkan sejumlah pihak. Salah seorang yang turut menyayangkan kebijakan tersebut adalah dokter sekaligus peneliti di Universiitas Airlangga (Unair) Surabaya, DR dr Sahudi Salim SpB(K)KL.    

Sahudi merupakan dokter spesialis bedah kepala dan leher yang telah menguji kegunaan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT), teknologi terapi kanker temuan Warsito. Penelitian yang dituangkan dalam bentuk disertasi itu menyimpulkan, ECCT terbukti bekerja membunuh sel kanker secara selektif dan lebih aman terhadap sel sehat.  

Meskipun penelitian baru tahap in vitro atau tingkat sel, menurut Sahudi, hal itu setidaknya menunjukan bahwa alat terapi kanker berbasis gelombang elektromagnet tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Ia berharap, pemerintah tidak mematikan penelitian yang dia sebut berpotensi menjadi sumbangan Indonesia untuk dunia itu.

“Saya harap Kemenkes tidak terombang-ambing oleh kepentingan dari luar. Kalau dia (Warsito) diusir, bisa diambil negara lain,” ujar Sahudi ditemui di RS dr Soetomo, Surabaya, Kamis (3/12).

Sahudi memahami, bagi sebagian besar dokter, penemuan Warsito sangat mengejutkan. Selama ini, kata Sahudi, dunia kedokteran mengenal kanker sebagai penyakit paling ganas serta paling banyak membunuh manusia. Penangannya pun, kata dia, sangat sulit dan mahal, serta hanya mengenal tiga metode, yakni bedah, radioterapi dan kemoterapi.

“Pak Warsito itu bukan dari dunia kedokteran, latar belakangnya fisika. Bagi para dokter ini mengagetkan. Banyak dokter yang meminta itu (klinik Warsito) ditutup,” ujar Sahudi.  

Sahudi mengakui, hanya sedikit sekali dokter yang mau menerima penelitian Warsito. Ia menyayangkan, penolakan para dokter itu tidak didasarkan pada hasil penelitian dan hanya dilandasi oleh gejala kasuistik.

“Ada yang menyebut, praktik Pak Warsito meningkatkan stadium kanker. Tapi bisa dibalikkan, dokter kalau menangani kanker payudara stadium 3B, sudah dioperasi, kemo, radiasi, apa pasti selamat pasiennya?” ujar Sahudi.

Pemerintah dan para dokter, menurut Sahudi, bisa meniru negara-negara lain dalam menyikapi hasil temuan seperti ECCT karya Warsito. Di Amerika Serikat, kata Sahudi, teknologi serupa bernama Novocure, mendapat izin pemerintah. Sebagai catatan, kata dia, teknologi tersebut hanya dianjurkan bagi penderita kanker stadium lanjut yang sudah tidak memiliki harapan hidup.

Sementara di Jepang, kata Sahudi, ECCT buatan Warsito digunakan di klinik medis dengan pendampingan para dokter. Sahudi menyarankan kepada Pemerintah Indonesia, teknologi ECCT bisa digunakan sebagai pendekatan paliatif, atau bagi mereka yang tidak memiliki harapan hidup.

Selain itu, kata dia, ECCT juga bisa digunakan sebagai terapi ajuvan, yakni terapi pelengkap. Hal pasti, menurut dia, idealnya, penggunaan ECCT didampingi oleh dokter.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement