REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kelompok masyarakat sipil menilai pemerintah Indonesia akan menghadapi dua isu penting dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP) UNFCCC ke-21 di Paris, Prancis. Isu pertama adalah pengelolaan hutan gambut pascakebakaran yang menimbulkan emisi. Kedua, tentang rencana pemenuhan kebutuhan energi yang bersumber dari batu bara.
"Pemerintah Indonesia akan mendapat sorotan karena kebakaran hutan dan lahan yang melepas emisi tinggi," kata Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko di Paris, Perancis, Ahad (29/11).
Ia mengatakan kelompok masyarakat sipil juga terus menyuarakan tentang respon pemerintah terhadap peningkatan emisi dan deforestasi akibat kebakaran hutan dan gambut. Pemerintah, menurut Hadi, seharusnya meningkatkan akses terhadap wilayah kelola rakyat yang terbukti bisa menjadi contoh untuk mitigasi perubahan iklim.
Termasuk dalam pengelolaan lahan gambut, menurut dia, masyarakat di Kalimantan dan Sumatera memiliki kearifan lokal sehingga tidak pernah menimbulkan kebakaran besar yang meracuni udara.
"Penguasaan lahan dan hutan di Sumatera Selatan yang masif oleh koorporasi menjadi penyebab utama kebakaran lahan gambut di sana," katanya.
Selain itu, Walhi juga mendesak pemerintah agar menghentikan pengembangan tambang batu bara dan pembangkit listrik tenaga uap dari batu bara sebagai konteks penting mitigasi perubahan iklim.
Direktur Walhi Jambi Musri Nauli menambahkan bahwa langkah pemerintah menggunakan batu bara untuk energi sangat tidak populis.
"Negara-negara di dunia sudah berlomba-lomba meninggalkan batu bara dan beralih ke energi terbarukan, mengapa kita sangat terbelakang, bahkan kuno," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah berencana membangun pembangkit listrik menggunakan uap batu bara hingga menghasilkan energi listrik sebesar 20 ribu megawatt.