REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Bivitri Susanti menyatakan, masalah pencatutan nama pimpinan negara yang dituduhkan pada Setya Novanto dalam PT Freeport Indonesia memiliki kemungkinan yang sangat kecil ditangani di ruang hukum. Sehingga pengguna politik yang lebih berpengaruh dan menyeimbangkan.
"Ruang hukum ini belum terjadi, tindak pidana belum terjadi, apakah dengan demikian tidak bisa? Sebenarnya bisa," kata Vitri pada diskusi 'Beranikah MKD Transparan Sidang Kausus SN' di Jakarta, Jumat (27/11).
Vitri menejalaskan, jika kasus yang ditunjukan pada Novanto belum terjadi tindak pidana. Tapi jika memang ingin menyasar pada ranah pidana, paling memungkinkan dengan perdagangan kepentingan. Jika memang tukar-menukar saham telah terjadi, maka Novanto bisa terkena pidana.
Akan tetapi permasalahan ini masih berupa tawaran, sehingga yang paling memungkinkan dikenakan pada Ketua DPR adalah pasal percobaan tindak pidana yang memiliki tindakan hukum yang tidak begitu kuat.
Di samping itu, dia menilai penegak hukum di Indonesia masih sangat dimungkinkan untuk tidak seimbang. Terlebih lagi melihat kedudukan dan jaringan yang dimiliki Novanto. Melihat hasil wilayah hukum yang memiliki efek yang tidak begitu besar, maka Vitri menegaskan kasus ini juga perlu dikawal dalam masalah politik.
Sehingga langkah yang dilakukan Menteri ESDM Sudirman Said untuk melaporkan Novanto pada Majelis Kehormatan Dewan pasti sudah melalui perhitungan pada tahap itu.