Jumat 27 Nov 2015 07:30 WIB

Madrasah di Jateng Terancam Tutup, Ini Alasanya

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Hazliansyah
 Siswa kelas enam Madrasah Ibtidaiyah sedang mengikuti belajar di Sekolah Al-Muriyah, Jakarta Pusat, Jumat (27/3).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Siswa kelas enam Madrasah Ibtidaiyah sedang mengikuti belajar di Sekolah Al-Muriyah, Jakarta Pusat, Jumat (27/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Para ulama menyatakan keberatannya terhadap rencana kebijakan sekolah hari yang dicanangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Utusan Majelis Ulama Indonesia daerah mendorong MUI Jateng agar bersikap tegas menolak kebijakan yang dituangkan dalam Surat Edaran nomor 420/006752/2015 tersebut atas pertimbangan kemaslahatan umat.

   

Pasalnya kebijakan tersebut bisa membuat madrasah diniyah (madin) dan TPQ yang telah ada puluhan tahun bahkan sudah ada sejak Islam masuk Indonesia, akan tutup. Kebijakan sekolah lima hari menyebabkan para siswa tidak memiliki kesempatan atau waktu mengenyam pendidikan agama di sore hari. Madin dan TPQ akan gulung tikar.

"Bukan soal tutupnya yang menyedihkan, tapi tiadanya kesempatan anak-anak mendapat pendidikan moral agama. Mau jadi apa mereka nanti," kata Kasi Pondok Pesantren Kanwil Kementerian Agama Jateng, Mustasit, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, semalam.

Satu-satunya benteng moral masyarakat adalah pendidikan agama dan itu didapat secara maksimal di pesantren, madin, dan TPQ yang umumnya diselenggarakan pada sore hari. Pemberlakukan surat edaran gubernur telah mengancam keberlangsungan lebih dari 11 ribu madin di Jateng dengan 800 ribu santri dan 80 pengajarnya.

Libur sekolah pada Sabtu dan Ahad di Jateng perlu dipertimbangkan lagi manfaat dan mudharat (kerugian)-nya. Jika tidak diisi dengan kegiatan produktif, maka tidak ada manfaatnya. Kebijakan tersebut hanya cocok jika diterapkan di kota Metropolitan semisal Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement